Sambar.id, Banggai, Sulteng - Ketua Jaringan Advokasi Rakyat Lingkar Industri (JARRI) Razwin Baka, SH., MH menyebutkan bahwa nelayan Kecamatan Batui, Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) terus merasakan ketidakadilan, serta hak-haknya direnggut dan diduga telah dirugikan, sejak beroperasinya terminal khusus PT. Donggi Senoro LNG mulai tahun 2015 silam sampai saat ini.
Dijelaskan bahwa pada tahun 2015, untuk kepentingan bisnisnya PT. Donggi Senoro LNG melakukan pembebasan rumpon/rakit milik nelayan Kecamatan Batui.
"Pembebasan tersebut dilakukan pihak Perusahaan karena dianggap sebagai wilayah zona terlarang dan terbatas, yang diklaim sebagai bagian dari area terminal khusus PT. Donggi Senoro LNG, dan sekaligus merupakan jalur keluar masuknya kapal pengangkut LNG (Liquified Natural Gas)," jelas Razwin dalam press release yang diterima awak Sambar.id pada Senin, (26/6/2023)
Ia juga mengatakan, sejak pembebasan rumpon/rakit tersebut, pihak Perusahaan menjaga ketat dengan tidak mengizinkan para nelayan untuk membangun kembali sarana penunjang, bahkan sering kali pada nelayan diusir apabila ada yang memasuki area tersebut.
Akibatnya, untuk melakukan penangkapan ikan dan pembangunan rumpon/rakit, para nelayan harus menempuh jarak yang sangat jauh dari tepi Pantai.
Jarak tempuh yang jauh tersebut adalah akibat dampak dibangunnya terminal khusus milik PT. Donggi Senoro LNG, sehingga memberikan batasan kepada para nelayan yang berada di Kecamatan Batui, berdasarkan wilayah yang diklaim secara sepihak oleh PT. Donggi Senoro LNG.
Menyikapi permasalahan tersebut, Ketua JARRI Razwin Baka, SH., MH, menjelaskan terkait pelaksanaan ketentuan mengenai kenavigasian, negara telah mengaturnya dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5 Tahun 2010 tentang kenavigasian.
Di Pasal 38 PP Nomor 5 Tahun 2010, dijelaskan bahwa zona keamanan dan keselamatan yang dimaksud terdiri atas zona terlarang, yaitu 500 meter dihitung dari sisi terluar instalasi atau bangunan sarana bantu navigasi pelayaran.
Dan zona terbatas pada area 1.250 meter, dihitung dari sisi terluar zona terlarang, atau 1.750 meter dari titik terluar instalasi atau bangunan sarana bantu navigasi pelayaran.
Pada pasal tersebut juga dijelaskan, pada zona terbatas dapat dilakukan pembangunan lainnya, dengan ketentuan tidak menganggu fungsi dan sistem sarana bantu navigasi pelayaran setelah mendapat izin dari menteri. Artinya masyarakat boleh membangun rumpon/rakit setelah mendapatkan izin dari menteri.
"PP ini yang selalu dijadikan rujukan pihak perusahaan sebagai bahan sosialisasi kepada nelayan sekitar, sehingga masyarakat tidak ada yang berani membangun kembali rumpon/rakit di wilayah tersebut," ungkap Razwin.
Ia menambahkan, apabila mau dicermati lebih dalam, di Pasal 39 dijelaskan bahwa zona keamanan dan keselamatan sebagaimana dimaksud harus memenuhi 3 persyaratan, yaitu:
1. Wilayah yang akan ditetapkan sebagai zona keamanan dan keselamatan, tidak terdapat bangunan atau tumbuhan yang dapat menganggu fungsi sarana bantu navigasi pelayaran.
2. Wilayah daratan yang akan ditetapkan sebagai zona keamanan dan keselamatan, harus dibebaskan dari kepemilikan pihak lain.
3. Wilayah perairan yang akan ditetapkan sebagai zona keamanan dan keselamatan, tidak terdapat bangunan dan kegiatan yang dapat mengganggu fungsi dan sistem sarana bantu navigasi pelayaran.
"Seperti kita ketahui bahwa pelabuhan khusus DSLNG berada dikawasan pemukiman, banyak bangunan perumahan masyarakat disana sampai dengan radius 1.750 meter dari titik terluar instalasi atau bangunan sarana bantu navigasi. Dan tidak dibebaskan oleh pihak perusahaan, artinya ada kepemilikan oleh pihak lain," ungkap Razwin.
Dengan kondisi seperti ini kata Razwin, tentu saja perusahaan tidak bisa seenaknya melakukan klaim sepihak, karena tidak memenuhi persyaratannya. Apabila perusahaan selama ini melarang, maka kemungkinan besar telah terjadi adanya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) nelayan sekitar.
Ketua JARRI juga mengatakan bahwa pihaknya akan melakukan konsolidasi bersama para nelayan, untuk melaporkan permasalahan tersebut ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) atas pelanggaran yang terjadi.
"Laporan kami untuk meminta perusahaan bertanggung jawab atas hak-hak masyarakat yang telah direnggut dengan klaim secara sepihak, demi mendapatkan profit sebesar-besarnya bagi perusahaan. Dan kami segera meminta pihak terkait untuk mencabut status pelabuhan khusus PT. Donggi Senoro LNG, agar tidak beroperasi dulu sampai dengan hak-hak nelayan terpenuhi," tegas Razwin Baka.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak terkait sementara diusahakan untuk dikonfirmasi. (*)