SAMBAR.ID// PASURUAN – Baju wartawan rupanya tak selalu menjadi jubah pelindung kebenaran. Di baliknya, terkadang bersemayam kegelapan perilaku yang mencoreng marwah profesi. Sebuah kasus baru-baru ini di Pasuruan membuktikannya: amuk digital oknum wartawan di grup WhatsApp, bukannya mengejar fakta, malah mengejar balas dendam asmara.
Bukannya pena yang beradu, melainkan kata-kata kasar bak senjata tajam yang dilayangkan tanpa ampun. Provokasi dan serangan personal membanjiri ruang digital, meninggalkan jejak kehancuran etika dan profesionalisme. Komentar-komentar bernada premanisme menghantui grup tersebut, menunjukkan betapa tipisnya garis antara jurnalis dan provokator.
Lebih mengejutkan lagi, dugaan kuat mengarah pada motif yang jauh dari idealisme jurnalistik: sakit hati asmara. Komentar-komentar emosional yang menyerempet ranah pribadi mengisyaratkan luka batin yang dilampiaskan secara brutal di dunia maya. Ini bukan sekadar debat gagasan, melainkan penyalahgunaan platform publik untuk pembalasan dendam pribadi.
"Wartawan? Lebih tepat disebut preman berkedok jurnalis," ujar salah satu anggota grup yang geram. Ia mewakili banyak suara lain yang jijik melihat penyalahgunaan profesi untuk kepentingan pribadi.
Para pemerhati media pun bersuara lantang, menuntut organisasi profesi untuk bertindak tegas. "Ini bukan hanya masalah oknum, tapi juga ancaman serius bagi kredibilitas jurnalisme," tegas mereka. Kepercayaan publik, yang susah payah dibangun, terancam runtuh oleh ulah segelintir individu yang menodai profesi mulia.
Hingga kini, keheningan dari pihak terkait semakin memperkuat citra buruk yang telah terlanjur melekat. Topeng jurnalis telah jatuh, mengungkapkan wajah premanisme yang mencoreng ruang publik yang seharusnya steril dari drama murahan. Ini bukan sekadar oknum yang bermasalah, melainkan ancaman nyata bagi integritas jurnalisme Indonesia. (*)