Krisis Legitimasi di Tubuh KPID NTB: Saatnya Gubernur Tegas Membuka Seleksi Baru

Oleh: Arifuddin  (Pemuda NTB)

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan lembaga independen yang berperan mengawasi dunia penyiaran di daerah. Keberadaannya menjadi pilar penting bagi demokrasi, khususnya dalam memastikan media berjalan sehat, adil, dan berpihak pada kepentingan publik. Namun, dalam beberapa waktu terakhir, publik justru dihadapkan pada persoalan serius: masa jabatan KPID NTB diperpanjang tanpa kepastian seleksi baru dari pemerintah provinsi.

Fenomena ini menimbulkan tanda tanya besar. Mengapa gubernur belum juga mengambil langkah tegas untuk segera membuka seleksi, padahal mandat komisioner jelas dibatasi oleh aturan periode jabatan? Keterlambatan ini tidak bisa dianggap sepele, karena menyangkut legitimasi kelembagaan sekaligus kualitas demokrasi di daerah.

Perpanjangan Bukan Solusi Jangka Panjang

Perpanjangan masa jabatan sejatinya hanya dimaksudkan sebagai solusi darurat agar tidak terjadi kekosongan kepemimpinan di KPID. Akan tetapi, bila kondisi darurat ini dibiarkan berlarut-larut, ia justru menjadi masalah baru. Komisioner yang masa jabatannya diperpanjang cenderung berada dalam posisi dilematis: di satu sisi tetap menjalankan fungsi pengawasan, di sisi lain legitimasi moral maupun hukumnya mulai dipertanyakan. Publik bisa menilai bahwa mereka tidak lagi memiliki mandat penuh, melainkan hanya “penjaga malam” sementara.

Tanggung Jawab Politik Gubernur

Di sinilah seharusnya gubernur tampil tegas. Tugas kepala daerah bukan hanya mengurus pembangunan fisik, tetapi juga memastikan lembaga demokrasi berjalan sesuai aturan. Dengan menunda proses seleksi, gubernur sesungguhnya sedang mempertaruhkan kredibilitas pemerintahannya. Publik bisa menafsirkan sikap lamban ini sebagai bentuk kelalaian administrasi, bahkan tidak menutup kemungkinan dituding ada kepentingan politik tertentu di baliknya.

Padahal, proses seleksi komisioner bukanlah hal yang sederhana. Ia membutuhkan pembentukan tim seleksi, penjaringan calon, hingga uji kelayakan di DPRD. Semua itu memakan waktu. Semakin lama gubernur menunda, semakin lama pula KPID berjalan di atas legitimasi yang rapuh.

Dampak pada Fungsi KPID

Harus diakui, KPID berhadapan dengan tantangan besar di era banjir informasi dan derasnya konten digital. Pengawasan penyiaran tidak boleh berjalan setengah hati. Jika komisioner hanya bekerja dalam status perpanjangan, ada potensi sikap kehati-hatian berlebihan yang bisa menghambat ketegasan dalam mengambil keputusan. Lebih parah lagi, publik bisa kehilangan kepercayaan pada KPID karena menganggapnya sekadar perpanjangan tangan birokrasi, bukan lembaga independen.

Kebutuhan Transparansi dan Kepastian

Demokrasi menuntut transparansi, akuntabilitas, dan kepastian hukum. Jika gubernur membiarkan KPID NTB terus diperpanjang tanpa batas, maka prinsip-prinsip ini tercederai. Publik berhak menuntut proses seleksi yang jelas, terbuka, dan tepat waktu. Sebab, pengisian jabatan komisioner bukan sekadar rutinitas administrasi, melainkan bagian dari upaya menjaga keadilan informasi di masyarakat.

Saatnya Bertindak

Gubernur NTB perlu segera mengambil langkah konkret: membentuk panitia seleksi, membuka pendaftaran, dan memastikan semua tahapan berjalan transparan. Ini bukan hanya soal menjalankan aturan, tetapi juga soal memberikan kepastian bagi masyarakat bahwa lembaga pengawas penyiaran benar-benar bekerja untuk publik, bukan untuk kepentingan kelompok tertentu.

Jika tidak segera dilakukan, krisis legitimasi di tubuh KPID NTB akan semakin dalam. Dan pada akhirnya, yang paling dirugikan bukan hanya lembaga, melainkan masyarakat luas yang kehilangan pengawas independen di ranah penyiaran.

Kesimpulannya sederhana: Perpanjangan KPID NTB hanyalah solusi sementara. Gubernur harus segera bertindak, atau ia akan dicatat publik sebagai pemimpin yang abai terhadap pentingnya demokrasi informasi di daerahnya. (*)
Lebih baru Lebih lama