Pertempuran Argumen di Sidang Tanah Gesing: 44 Ahli Waris Didampingi LBH Mukti Pajajaran Gugat Desa Rowo Gempol

caption: Suasana sidang tanah Gesing di PN Bangil saat dimulai, 2 Desember 2025. Ahli waris hadir didampingi LBH Mukti Pajajaran Andreas Wuisan

SAMBAR.ID // PASURUAN – Sengketa tanah sawah warga di Desa Rowo Gempol, Kecamatan Lekok, Kabupaten Pasuruan, kembali memanas pada Selasa, 2 Desember 2025, pukul 11.00 WIB di Pengadilan Negeri Bangil (Jl. Dr. Soetomo No. 25, Bangil, Pasuruan, Jawa Timur 67153).


Tanah yang dikuasai desa sejak 1961 ini digugat oleh 44 ahli waris karena tidak ada bukti resmi peralihan hak. Selama lebih dari 60 tahun, tanah ini dianggap milik desa tanpa dokumen jual-beli, hibah, atau berita acara serah terima.


Sidang ke-12 ini dihadiri para ahli waris, Kepala Desa Rowogempol, Camat Lekok, perwakilan DPMD, unsur Pemkab Pasuruan, dan warga Gesing. Para ahli waris menunjuk Andreas Wuisan, S.E., S.H., dari LBH Mukti Pajajaran (Jl. Halmahera No.03, RT 05/RW 04, Kelurahan Tambaan, Kecamatan Panggungrejo, Kota Pasuruan, Jawa Timur 67132) sebagai kuasa hukum mereka. Kehadiran Andreas menegaskan posisi warga dalam menghadirkan argumen hukum yang sistematis dan kuat.


Dalam sidang ini terungkap bahwa pajak tanah (SPPT) menunggak bertahun-tahun, yakni pada 2004, 2005, 2009–2011, dan 2022–2024. Meski demikian, tanah tetap digunakan desa dan sebagian hasil sewa dialirkan ke Masjid Al-Mubarok Gesing. Majelis hakim menyoroti kejanggalan ini karena tanah yang disewakan tetap seharusnya membayar pajak.


Saksi dari pihak desa, AS, mengatakan ia hanya mengetahui sejarah tanah dari cerita. Saat hakim menanyakan kondisi tanah tahun 1961, ia mengaku masih berusia satu tahun dan tidak punya pengalaman langsung. Ia menambahkan tanah disewakan dan sebagian hasilnya digunakan untuk masjid, meski tidak sampai setengah.


Caption: Usai sidang tanah Gesing, ahli waris berfoto bersama di depan PN Bangil dengan LBH Mukti Pajajaran Andreas Wuisan


Sekretaris Desa, AR, menyebut tanah tercatat sebagai bondo desa sejak era kepala desa terdahulu, namun mengakui tidak ada dokumen peralihan hak, catatan jual-beli, hibah, atau berita acara serah terima. Ia hanya menyebut tanah tercatat di Letter C 1100 tahun 1972, tanpa dokumen pendukung. (Catatan: “bondo desa” adalah istilah administratif untuk tanah yang dianggap milik desa.)


Andreas Wuisan, S.E., S.H., menegaskan bahwa keterangan saksi desa justru menguatkan klaim warga. Tidak ada bukti jual-beli, hibah, berita acara serah terima, atau pencatatan aset resmi. Pajak yang menunggak bertahun-tahun menunjukkan penguasaan administratif tanpa dasar hukum. Andreas menyatakan:


"Penguasaan tanpa dokumen resmi merugikan warga. Sidang ini penting untuk mengembalikan hak mereka secara sah."


Para ahli waris meminta majelis hakim menyatakan:


1. Tanah tetap milik warga.

2. Penetapan sebagai bondo desa tidak sah.

3. Penguasaan dan penyewaan oleh desa tidak sah.

4. Desa harus menghentikan pemanfaatan tanah sampai ada putusan hukum tetap.


Sidang berikutnya akan menyoroti pembuktian tambahan. Majelis hakim akan menilai kekuatan bukti warga, validitas penguasaan desa, dan dampak tunggakan pajak SPPT terhadap status tanah.


Kasus ini menjadi sorotan karena melibatkan puluhan ahli waris, sejarah tanah panjang sejak 1961, dan minimnya bukti hukum dari pihak desa. Warga berharap proses hukum berjalan adil, sementara pihak desa menegaskan akan menyampaikan keterangan resmi sesuai dokumen yang dimiliki.


Reporter: Ilmiatun Nafia

Editor: Kabiro Sambar.id

Lebih baru Lebih lama