SAMBAR.ID, Palu, Sulteng- Koalisi Pengacara/Advokat Hijau meminta Pengadilan Negeri Poso membatalkan gugatan terhadap lima orang warga Bungku Barat, Kabupeten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah, atas aksi pemblokiran jalan produksi dilingkar industri PT. BTIG.
Kelima orang warga tersebut, digugat karena diduga melawan hukum, serta tuntutan kerugian materil senilai Rp 10 milar dan in materil Rp 4 miliar atas pemblokiran jalan produksi. Kelima orang tersebut hanya masyarakat biasa saja.
Bukan aktor utama dari aksi. Namun anehnya, PT. BTIG hanya menyasar lima orang warga. Sementara aksi tersebut juga dihadiri sejumlah masyarakat.
Aksi pemblokiran jalan merupakan bentuk keberatan warga di beberapa desa atas penggunaan jalan yang digunakan oleh pihak perusahaan. Jalan tersebut merupakan akses penghubung (jalan trans utama) antara Desa Topogaro dengan dusun Volili.
Perusahaan mengklaim bawa mereka memiliki legal standing atau surat izin pinjam pakai jalan dari dinas terkait Pemerintah Kabupaten Morowali.
"Berdasarkan informasi dari masyarakat dan diduga bahwa izin pinjam pakai jalan itu merupakan tukar guling dari lahan pembangunan bandara di Kabupaten Morowali. Namun kabar itu masih simpang siur. Karena haya terungkap dalam aksi. Selain lima warga, Pemkab juga dijadikan tergugat," ungkap Manager Kajian Analisis dan Pendampingan Hukum Walhi Sulteng, Sandy Prasetya Makal saat konferensi pers bersama awak media, dikantor YTM Jalan Tanjung Manimbaya, Kota Palu, Minggu sore (20/7/2025).
Masih menurutnya, ditengah perjalanan gugatan, Pemerintah Kabupaten Morowali mencabut surat izin pinjam pakai tersebut. Dalam artian bahwa jalan kantong produksi tidak lagi dikuasai oleh PT. BTIG.
Seharusnya bukan hanya lima orang saja yang digugat. Namun semua massa aksi juga harus menjadi tergugat. Olehnya PT BTIG keliru dalam melakukan gugatan. Sementara pihak PT. BTIG tidak bisa membuktikan adanya kerugian materil akibat pemblokiran jalan kantong produksi.
"Sangat disayangkan, Pengadilan Poso dalam putusan terakhirnta, memutuskan lima orang warga terbukti melakukan perbuatan melawan hukum. Namun pengadilan tidak mengabulkan tuntutan materil dengan total Rp 14 miliar," terangnya lagi.
Ia menilai bahwa aksi protes atau demonstrasi yang dilakukan masyarakat di muka umum, merupakan hak demokrasi warga yang diakui konstitusi, bukan tindakan melawan hukum. Aksi telah melalui prosedur.
Pasca putusan, pihak Koalisi Pengacara Hijau melakukan upaya banding ke Pengadilan Sulawesi Tengah, melalui Pengadikan Negeri Poso. Dalam dokumen tersebut secara tegas menyatakan bahwa lima orang warga tidak melawan hukum (PMH).
Kemudian aksi yang dilakukan tidak di jalan perusahaan. Namun di jalan kantong produksi, karena surat izin pinjam pakai telah dicabut. Selanjutnya gugatan bukan hanya kepada lima warga saja, tetapi semua masyarakat yang mengikuti demonetisasi.
"Kami meminta agar gugatan PMH maupun gugatan Rp 14 milar kepada lima orang warga, ditolak seluruhnya," tandasnya.
Sementara itu, Direktur Yayasan Tanah Merdeka, Richard F Labiro, S. IP, M. A. P menyayangkan gugatan hanya ditujukan kepada lima orang warga. Sementara masyarakat aksi demonstrasi lainnya tidak dijadikan tergugat.
"Pada dasarnya, PT.BTIG tidak bisa membuktikan kerugian materil akibat pemblokiran jalan. Namun Pengadilan Negeri Poso mengabulkan unjuk rasa masyarakat dianggap melawan hukum," tandasnya.
Di tempat yang sama, pihak JATAM Sulteng, Taufik menambahkan bahwa gugatan dari pihak Koalisi Pengacara Hijau, telah terdaftar di Pengadilan Tinggi Sulawesi Tengah. Dengan nomor perkara 68/PDT/2025/PTPAL/8 Juli 2025., melalui Pengadilan Negeri Poso.
"Kami menilai Majelis Hakim mengabaikan konteks sosial dan hak konstitusi wrga negara dalam menilai aksi dari para tergugat. Karena dalam putusan Mahkamah Agung tahun 2015, menegaskan bahwa unjuk rasa selama dilakukan secara damai, tidak dapat dianggap sebagai perbuatan melawan hukum," tegasnya.**/Red.
Source : KarebaSulteng.com