Sambar.Id, Ketapang || Dalam berbagai konflik agraria di Kalimantan Barat, sering kali perusahaan perkebunan berdalih bahwa mereka sudah memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP) sehingga merasa sah untuk menanam dan menguasai lahan - bahkan di wilayah APL (Area Penggunaan Lain).
Alasan mereka sederhana:
" Kami sudah punya IUP sejak 2014, sebelum ada putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2015. Jadi kami boleh beroperasi meski belum memiliki HGU.”
Sekilas terdengar legal, tapi sesungguhnya dalih itu rapuh secara hukum dan menyesatkan secara moral.
Landasan Hukum yang Sering Dipelintir
Memang benar, sebelum tahun 2015, Pasal 42 UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan masih memperbolehkan perusahaan beroperasi jika memiliki “hak atas tanah dan/atau IUP”.
Namun, setelah keluarnya Putusan MK No. 138/PUU-XIII/2015, kata “dan/atau” dihapus menjadi “dan”.
Artinya, setiap perusahaan perkebunan wajib memiliki dua hal sekaligus:
1. Hak atas tanah (HGU), dan
2. Izin usaha perkebunan (IUP).
Putusan MK itu bukan sekadar perubahan kata, melainkan koreksi atas praktik yang selama ini melegitimasi perusahaan untuk menguasai tanah rakyat hanya dengan IUP semata.
"Dalih Tahun IUP Tidak Bisa Jadi Pembenaran Abadi"
Beberapa perusahaan berdalih,
" IUP kami terbit tahun 2014, sebelum putusan MK, jadi masih sah meski belum HGU.”
Padahal dalih ini hanya berlaku sementara waktu, bukan untuk selamanya.
Putusan MK tidak bersifat surut, tetapi menegaskan bahwa semua perusahaan wajib menyesuaikan dengan ketentuan baru.
setelah 2015, perusahaan yang IUP-nya terbit sebelum putusan MK tetap wajib mengurus HGU dalam waktu wajar.
Jika sejak 2014 hingga kini (lebih dari 10 tahun) HGU belum juga terbit, itu bukan lagi “masa transisi” tetapi pengabaian kewajiban hukum.
Berdasarkan Permen ATR/BPN No. 7 Tahun 2017, perusahaan yang telah memiliki izin lokasi wajib mengajukan HGU maksimal dua tahun sejak izin lokasi diterbitkan.
Apabila tidak, maka izin lokasi batal dan lahan kembali menjadi objek negara atau masyarakat.
Lahan APL Bukan Tanah Kosong
APL sering dijadikan alasan oleh perusahaan untuk mengklaim lahan.
Padahal, APL (Area Penggunaan Lain) hanyalah penetapan fungsi ruang di luar kawasan hutan, bukan penegasan status kepemilikan.
Di dalam wilayah APL sering terdapat:
1. Tanah adat (ulayat),
2. Tanah milik masyarakat dengan girik, SKT, atau surat kepala desa,
3. Tanah garapan turun-temurun.
Dengan demikian, APL bukan berarti tanah negara bebas pakai.
Jika masyarakat tidak pernah menyerahkan lahan, tidak pernah menandatangani pelepasan hak, atau tidak menerima ganti rugi, maka tidak ada dasar hukum bagi perusahaan untuk menanam di sana, meski mereka memegang IUP sekalipun.
"IUP Tanpa Persetujuan Masyarakat Adalah Cacat Hukum"
Sebelum IUP diterbitkan, seharusnya pemerintah melakukan verifikasi lapangan atas status dan kepemilikan tanah.
Namun kenyataannya, banyak IUP di lapangan muncul tanpa proses pelepasan hak dari masyarakat.
Peta diterbitkan dari belakang meja, tanpa berita acara ganti rugi, tanpa tanda tangan warga, dan tanpa sosialisasi yang sah.
Inilah yang disebut sebagai IUP fiktif atau mal-administrasi perizinan.
Menurut Permentan No. 98 Tahun 2013, salah satu syarat wajib penerbitan IUP adalah adanya bukti penguasaan lahan yang sah dan bebas sengketa.Jika syarat ini tidak terpenuhi, maka IUP tersebut batal demi hukum.
Lebih jauh lagi, menurut Pasal 9 dan 16 UUPA No. 5 Tahun 1960, negara tidak boleh memberikan izin atas tanah yang masih dikuasai masyarakat secara sah.
Dengan kata lain:
" Tidak ada IUP yang sah di atas tanah rakyat yang tidak pernah dilepaskan.”
Konsekuensi Hukum bagi Perusahaan
Perusahaan yang beroperasi tanpa HGU dan tanpa pelepasan hak masyarakat dapat dikenakan beberapa konsekuensi:
1. Sanksi administratif (pencabutan izin, penghentian operasional) - Pasal 47 UU No. 39/2014.
2. Pelanggaran hukum agraria (penguasaan tanah tanpa hak) - melanggar UUPA.
3. Tindak pidana korupsi (Tipikor) - jika memperoleh keuntungan dari lahan negara atau masyarakat tanpa dasar hukum (Pasal 2 & 3 UU 31/1999).
4. Perbuatan melawan hukum perdata - karena merugikan masyarakat adat yang memiliki hak ulayat.
Dampak Sosial dan Moral
Akibat praktik ini, banyak masyarakat yang sudah turun-temurun menggarap tanahnya justru dituduh “menyerobot lahan perusahaan”.
Padahal, yang terjadi sebaliknya, perusahaan lah yang menyerobot lahan rakyat dengan legalitas palsu.
Inilah bentuk penjajahan agraria gaya baru - berpakaian izin, berwajah investasi, tapi sejatinya menghisap hak rakyat kecil.
Legalitas administratif dijadikan tameng untuk menutupi pelanggaran moral terhadap keadilan sosial yang dijamin oleh Pasal 33 ayat (3) UUD 1945:
"Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Kesimpulan
1. IUP tanpa HGU tidak sah, apalagi jika tanahnya belum dilepaskan oleh masyarakat.
2. Dalih IUP tahun 2014 tidak bisa menjadi pembenaran permanen untuk menanam di atas tanah tanpa hak.
3. Lahan APL bukan tanah kosong, melainkan ruang hidup masyarakat adat dan lokal.
4. IUP tanpa dasar tanah yang sah adalah mal-administrasi, dan perusahaan wajib bertanggung jawab atas kerugian sosial yang ditimbulkan.
Putusan MK bukanlah pintu pembenaran, tetapi peringatan keras agar perusahaan tidak lagi bermain di wilayah abu-abu hukum.
Karena keadilan agraria bukan soal tahun izin, tapi soal hak rakyat atas tanahnya sendiri.
Penutup
“Tanah tidak pernah meminta untuk dibagi, tapi manusia yang rakus ingin memilikinya semua.
Dan selama hukum berpihak pada yang berizin, bukan yang berhak, maka keadilan agraria hanyalah mitos di atas sawit yang subur.”
Oleh : Muhammad Jimi Rizaldi, A.Md.,S.ST.,M.T.,MCE.,CPLA






.jpg)