Ketika Kekejaman Berlapis, Eksploitasi, dan Bisnis Agency yang jadi Ruang Gelap Kematian Dwi di Batam



Sambar.id, Batam — Malam itu kota masih berdenyut seperti biasa, tetapi di salah satu sudutnya, sebuah kisah gelap tengah dirangkai perlahan, mengarah pada tragedi yang tak bisa dibayangkan siapa pun. Dwi Putri Aprilian Dini, perempuan muda yang disebut calon LC, tidak pernah tahu bahwa langkah terakhirnya menuju ruang sempit itu akan menjadi gerbang menuju kematian paling keji dalam hidupnya.

Menurut kronologi yang kini terungkap di meja penyidik, empat pelaku tidak bertindak dalam ketergesaan, melainkan dalam pola yang menyerupai teror sistematis. Dwi disekap, disiksa, lalu dibunuh dengan cara yang menggambarkan hilangnya rasa kemanusiaan. Tidak hanya sekadar penganiayaan, tetapi aksi yang menggambarkan rencana yang dingin, terukur, dan meninggalkan luka kolektif bagi banyak orang.

Ketua Umum Aliansi LSM ORMAS Peduli Kepri, Ismail Ratusimbangan, menyebut pembunuhan itu sudah masuk kategori pelanggaran Hak Asasi Manusia. Ia menilai kasus ini bukan sekadar kriminal biasa, melainkan sebuah aksi yang dilakukan secara berkelompok, dengan kekejaman yang tidak seharusnya bisa lahir dari manusia. “Tidak ada alasan pemaaf. Mereka harus dihukum paling berat,” tegasnya, Senin, (9/12/25).

Ismail memandang lapisan pasal yang menjerat para tersangka sudah cukup untuk menutup seluruh ruang pembelaan. Dari apa yang dilakukan pelaku, katanya, ada pola kekerasan yang melampaui batas kewajaran. “Sungguh luar biasa kejinya,” ujar Ismail mengguraikan. Sebuah penekanan yang menggambarkan betapa tubuh korban menjadi saksi bisu dari malam yang berubah menjadi mimpi buruk.

Tragedi ini bukan sekadar gambaran gelapnya satu tindakan brutal, melainkan juga potret betapa sektor dunia malam menyimpan ruang-ruang yang selama ini dibiarkan tumbuh tanpa pengawasan memadai. Bagi Ismail, kasus ini adalah alarm keras yang tidak boleh lagi ditunda. Ia menilai pemerintah daerah, kepolisian, hingga instansi terkait harus bergerak lebih cepat agar kekejaman semacam ini tidak berulang.

Dalam pandangannya, tatanan dunia LC di Batam memiliki lingkaran problem yang rumit. Agency yang selama ini menjadi penghubung antara tempat hiburan dan para LC dinilai turut menciptakan tekanan ekonomi yang membuat banyak perempuan bekerja dalam beban yang tidak pernah benar-benar adil. “Selama ini LC menjadi sapi perahan para agency,” katanya.

Ia mengungkapkan bahwa potongan 20% dari pihak tempat hiburan malam, ditambah 30–40% potongan dari agency, telah merampas hak pendapatan yang seharusnya diterima para pekerja. Itu belum termasuk biaya kos, makan-minum, salon kecantikan, dan transportasi yang menggerogoti sisa penghasilan mereka. “Agency terima bersih, LC terima sisanya yang hampir tak cukup,” ucapnya.

Di balik tragedi Dwi, Ismail melihat ada struktur eksploitasi yang selama ini berjalan diam-diam namun intens. Bagi banyak LC, kata “pekerjaan” tidak lagi sekadar tugas, tetapi menjadi pertarungan untuk bertahan hidup di tengah sistem yang menekan dari segala arah. Dan di atas kenyataan itu, agency berdiri sebagai pihak yang paling diuntungkan.

Karena itu, Ismail menegaskan agar pemerintah berani mengambil langkah ekstrem jika memang ingin mencegah tragedi serupa. Ia meminta agar seluruh agency yang menyediakan tenaga kerja LC ditutup sepenuhnya, atau minimal diperketat dengan regulasi yang membuat pendirian dan operasionalnya tidak bisa sembarangan.

Ia juga menekankan bahwa proses rekrutmen LC harus dilakukan langsung oleh badan usaha yakni tempat hiburan malam agar ada kejelasan tanggung jawab, perlindungan, dan standar pengawasan terhadap para pekerja. Tanpa itu, katanya, lingkaran gelap yang menjerat para perempuan di industri tersebut akan terus ada tanpa jalan keluar.

Kematian Dwi menjadi cermin betapa ruang gelap itu selama ini hanya ditutup rapat, bukan dibereskan. Batam kini menghadapi pertanyaan yang jauh lebih besar daripada sekadar siapa pelaku pembunuhannya. Pertanyaannya adalah berapa lama lagi sistem ini dibiarkan berjalan sebelum korban lain menyusul?

Di akhir keterangannya, Ismail mengingatkan bahwa kasus ini sudah menjadi isu nasional. Publik menunggu langkah nyata, bukan sekadar pernyataan. Dan bagi keluarga Dwi serta banyak perempuan lain yang bekerja dalam bayang-bayang dunia malam keadilan bukan hanya tentang menghukum pelaku, tetapi juga membereskan akar gelap yang melingkari kehidupan mereka.(Gh)
Lebih baru Lebih lama