Mengenal KH. Mustaqim bin Husain, Wali Quthb dari Tulungagung

Sambar.id//Tulungagung - KH. Mustaqim bin Husain merupakan pendiri pondok PETA (Pesulukan Thariqat Agung) yang lahir di Desa Nawangan, Kecamatan keras, Kabupaten Kediri pada tahun 1901 M.


Jika diurut ke atas nasabnya dari jalur ayah bertemu dengan Prabu Sanghyang Borosngoro atau Sayyid Ali bin Muhammad bin Umar atau Mbah panjalu, Ciamis, Jawa Barat.


Pada usianya yang ke-13 tahun, Kiai Mustaqim belajar ilmu kepada Kiai Zarkasyi Tulungagung untuk belajar ilmu agama dasar. Ketika menginjak dewasa, ia sudah memiliki hati yang selalu terjaga dari sifat-sifat jelek serta selalu berzikir kepada Allah Swt. sehingga ia bisa mengerti apa itu alam gaib, alam barzah, alam jin dan bisikan hati orang lain.

Setelah dewasa, Kiai Mustaqim menikah dengan Nyai Halimah Sa’diyah, putri H. Rois Kauman Tulungagung. Dari pernikahannya tersebut, keduanya dikaruniai 16 orang anak, namun Sembilan di antaranya meninggal ketika masih balita.


Adapun anak-anak yang masih hidup sampai dewasa ada tujuh orang, mereka ialah Nyai Thowilah Sumaranten Mustaqim, KH. Arif Mustaqim, Nyai Hj. Anni Siti Fatimah Mustaqim, Kiai Ali Murtadho Mustaqim, KH. Abdul Djalil Mustaqim dan Nyai Hj. Siti Mahfiyah Mustaqim.


Untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, Kiai Mustaqim bekerja sebagai tukang potong rambut atau tukang cukur. Ia juga pernah menjadi tukang jahit sepatu dan berdagang, bahkan ia pernah memiliki toko bernama ‘Bintang Sembilan’.


Awal Mula Sanad Thariqah


Sebelum memiliki sanad Thariqah Syadziliyah, Kiai Mustaqim sudah lebih dahulu memiliki sanad-sanad hizib seperti hizib baladiyah, hizib kafi dan lain-lain.


Suatu ketika, salah satu murid Kiai Mustaqim yang bernama Asfaham Ngadiluwih Kediri mengamalkan wirid hizib kafi dan masuk ke dalam maqam Jadzab Billah.


Pada kondisi tersebut, Asfaham berjalan sampai masuk ke Pesantren Tremas Pacitan Jawa Timur. Setelah masuk ke pesantren, Asfaham berdebat dengan para ustaz di sana. Ketika mendengar hal tersebut, Syekh Abdul Rozak menemui Asfaham dan bertanya,


“Siapa gurumu?”


Kemudian Asfaham menjawab, “Kiai Mustaqim bin Husain dari Kauman Tulungagung”


Setelah kejadian tersebut, beberapa waktu kemudian Syekh Abdul Rozak sowan kepada Kiai Mustaqim untuk mendapatkan ijazah ‘ammah darinya, namun keduanya saling menghindar untuk menjadi guru. Akhirnya keduanya sepakat untuk sama-sama memberi ijazah. Adapun Kiai Mustaqim memberikan ijazah hizib baladiyah sedangkan Syekh Abdul Rozak memberi baiat Thariqah Syadziliyah.


Setelah istiqamah mengamalkan Thariqat Sadziliyah, semakin lama pengikut dan pengamal yang berguru lewat baiat Kiai Mustaqim semakin banyak, sampai akhirnya Syekh Abdul Rozak berkata,


“Thariqah Syadziliyah ini nanti pusatnya pindah ke Kedung (maksudnya pindah ke Kiai Mustaqim bin Husain Kauman Tulungagung).”


Selain menerima baiat Thariqah Syadziliyah, Kiai Mustaqim sebenarnya juga menerima baiat Thariqah Qadiriyah wa Naqsabandiyah dari Kiai Khudhori bin Hasan Malangbong, Garut. Namun ia lebih mensyiarkan Thariqah Syadziliyah karena ada pesan khusus dari Syekh Abdul Rozak untuk mengembangkan thariqah ini di daerah Tulungagung Jawa Timur.


Adapun sanad thariqahnya adalah:


Kiai Mustaqim bin Husain dari

Syekh Abdul Rozak bin Abdullah at-Tarmasi dari

Syekh Ahmad, Kadirejo Klaten dari

Syekh Ahmad Nahrowi Muhtarom al-Jawi tsumma al-Makkiy dari

Syekh Muhammad Shalih al-Mufti al-Hanafi al-Makkiy dari

Syekh Muhammad Ali bin Thahir al-Watri al-Hanafi al-Madani dari

Syekh Syihab Ahmad Minatullah al-‘Adawi asy-Syabasi al-Azhari al-Mishri al-Maliki dari

Syekh Muhammad al-Bahity dari

Syekh Yusuf asy-Syabasi adh-Dhohiry dari

Syekh Asy-Syihab Ahmad bin Musthafa al-Iskandary asy-Syahir bisshobagh dari

Sayyid Muhammad bin Abdul Baqi’ az-Zurqoni al-Maliki dari

Syekh An-Nur Ali bin Abdurrahman al-Ajhuri al-Mishri al-Maliki dari

Syekh Nuruddin Ali bin Abi Bakr al-Qorofi dari

Syekh Jamaludin Ibrahim bin Ali bin Ahmad al-Qurosyi asy-Syafi’I al-Qolqosyandi dari

Syekh Asy-Syihab Taqiyuddin Abil Abbas Ahmad bin Muhammad bin Abu Bakr al-Muqdisi asy-Syahir bil Wasithiy dari

Syekh Shodruddin Abil Fathiy Muhammad bin Muhammad Ibrahim al-Maidumi al-Bakri al-Mishri dari

Syekh Abul Abbas Ahmad bin Umar al-Anshori al-Mursi dari

Syekh Abul Hasan Ali asy-Syadzili dari

Syekh Abdus Salam bin Masyisy dari

Syekh Abdurrahman al-Atthar az-Zayyat dari

Syekh Taqiyuddin al-Furqoni dari

Sayyid Fakhruddin dari

Sayyid Nuruddin Abil Hasan Ali dari

Sayyid Muhammad Tajuddin dari

Sayyid Muhammad Syamsuddin dari

Sayyid Zainuddin al-Qozwini dari

Sayyid Ibrahim al-Bashri dari

Sayyid Ahmad Marwani dari

Sayyid Sa’id dari

Sayyid Sa’du dari

Sayyid Fathus Su’ud dari

Sayyid Sa’id al-Ghozwani dari

Sayyid Abi Muhammad Jabir dari

Sayyid Hasan bin Ali dari

Sayyid Ali bin Abi Thalib dari

Nabi Muhammad saw. dari

Malaikat Jibril as. dari

Allah Swt.


Kiai Mustaqim adalah salah satu ulama yang berjuang mempertahankan kemerdekaan saat penjajah Jepang menyerang Indonesia. Ketika bangsa Jepang memaksa Indonesia melakukan ‘Seikerei’ banyak ulama-ulama yang menentangnya dengan keras. Akibatnya penolakan ini dianggap sebuah pemberontakan oleh pemerintah Jepang sehingga mereka banyak melakukan penyiksaan kepada ulama tak terkecuali kepada Kiai Mustaqim.


Derajat Kewalian Kiai Mustaqim


Menurut cerita Pak Ahmad bin Badri, ketika ia berkelana selama 18 tahun, ia pernah sowan menemui Kiai Dalhar Watucongol Magelang. Saat itu Kiai Dalhar bertanya,


“Kamu dari mana?”


Kemudian ia menjawab, “dari Jeli, Karangrejo, Tulungagung.”


Kiai Dalhar bertanya lagi, “Sudah kenal Kiai Mustaqim Kauman Tulungagung?”


Kemudian ia menjawab, “Sudah. Saya sudah tahu beliau, bahkan bapak saya ikut amalan thariqah KH. Mustaqim.”


Kemudian Kiai Dalhar berkata, “KH. Mustaqim itu adalah wali Quthub yang derajat kewaliannya Mastur (ditutupi).”


Padahal, di daerah Tulungagung dan sekitarnya banyak yang tidak mengetahui kedudukan KH. Mustaqim. Yang mereka tahu hanyalah Pak Takim sebagai tukang cukur rambut.


Karomah Kiai Mustaqim


Sebagaimana waliyullah pada umumnya, Kiai Mustaqim juga diberikan kemuliaan oleh Allah Swt. sebagai tanda kebesaran-Nya.


Di antaranya dalam memberikan wejangan, Kiai Mustaqim adalah ulama yang lebih sering berbicara dengan menggunakan bahasa kinayah sehingga menurut KH. Shoddiq Muslih, apabila mendengar perkataan-perkataannya harus dengan berdzikir kepada Allah Swt. agar bisa memahami makna dari perkataan tersebut sebagaimana ungkapannya berikut:


“Menjadi orang mukmin itu harus sering memotong kuku.”  Artinya, menjadi orang mukmin harus menghilangkan sifat ujub supaya bisa ikhlas.


Kemudian, sebelum Indonesia merdeka, pernah suatu ketika pada Bulan Rabiul Awwal, Kiai Mustaqim berkata,


“Bangsa Jepang berada di Indonesia masih enam bulan lagi.”


Dan benar saja, sebab setelah enam bulan, tepatnya pada Hari Jumat Legi, 9 Ramadhan 1383 H. atau 17 Agustus 1945 M., Indonesia merdeka.


Karamahnya yang lain, menurut Kiai Lamri Kedung Sigit Karangan Trenggalek, ia berkata bahwa Kiai Mustaqim kerap menemui tamu yang sowan dan mengajaknya bercakap-cakap sesuai dengan bahasa asal tamu tersebut. Seperti contoh ketika Kiai Mustaqim menerima tamu dari India, ia bisa bercakap-cakap dengan menggunakan bahasa India tanpa membawa penerjemah. Dan kejadian itu didengarkan langsung oleh Kiai Lamri.


Wafatnya Sang Mursyid


Kiai Mustaqim wafat pada tanggal 1 Muharram setelah ashar dan bertepatan dengan tahun 1970 M. Ia dikebumikan di kawasan pondok PETA Kauman Tulungagung Jawa Timur. Sedangkan estafet kemursyidan diserahkan kepada puteranya, KH. Abdul Djalil Mustaqim.


Wallahu a’lam bisshawwab

Lebih baru Lebih lama