Menganalisis Seruan Pembubaran DPR: Tinjauan Hukum, Politik, dan Filosofi

Caption : Dampak Pembubaran DPR RI/F-IST Generate Ai/Kompasiana.com


Oleh : M. Wijaya S., S.H., M.H, Praktisi Hukum (Pengacara/Advokat)


SAMBAR.ID, Opini - Seruan untuk membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang mengemuka dalam aksi demonstrasi pada 25 Agustus 2025 di Jakarta dan beberapa daerah lainnya di Indonesia, merupakan isu yang patut dikaji secara mendalam dari berbagai sudut pandang.


Meskipun seruan ini mencerminkan kekecewaan publik terhadap kinerja lembaga legislatif, secara hukum, politik dan filosofis, membubarkan DPR bukanlah solusi tepat.


Secara filosofi politik, keberadaan DPR adalah manifestasi dari doktrin konstitusional trias politica atau pemisahan kekuasaan, yang digagas oleh para pemikir seperti John Locke dan Montesquieu. Menurut doktrin ini, kekuasaan negara harus dibagi ke dalam tiga cabang yang saling mengawasi (checks and balances) yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif. 


Asas hukum ini bertujuan untuk mencegah konsentrasi kekuasaan yang dapat berujung pada pemerintahan otoriter. Membubarkan DPR berarti meruntuhkan pilar utama demokrasi dan membuka jalan bagi penyalahgunaan wewenang oleh lembaga eksekutif.


Secara faktual, salah satu pemicu utama seruan ini adalah isu terkait tingginya penghasilan anggota DPR, terutama nilai tunjangan jabatan mereka yang menjadi sorotan publik. Isu ini memicu ajakan demonstrasi di media sosial hingga bermuara aksi turun ke jalan.

  

Namun, alih-alih melakukan destruksi institusional dengan membubarkan DPR, solusi yang lebih konstruktif dan sesuai dengan jalur konstitusional adalah dengan memperkuat sistem dan memberikan sanksi yang tegas.


Hal dan upaya yang bisa dilakukan,ada dua cara, yaitu diantaranya :


PERTAMA, penguatan kontrol publik dan tekanan politik. Dalam sistem representasi politik, demonstrasi adalah instrumentum iuris (instrumen hukum) bagi rakyat sebagai pemegang kedaulatan rakyat (demos cratos) untuk menyampaikan aspirasi. 


Aksi ini berfungsi sebagai mekanisme koreksi eksternal yang efektif untuk memaksa DPR kembali pada jalur konstitusional dan aspirasi rakyat.


KEDUA, sanksi politik melalui mekanisme elektoral. Cara paling kuat dan sah untuk memberikan sanksi kepada anggota dewan yang dianggap tidak amanah adalah melalui pemilu. 


Dengan tidak memilih kembali anggota legislatif atau partai politik yang mengecewakan, rakyat menerapkan sanksi elektoral yang dapat mengubah komposisi dan kualitas dewan secara signifikan. Ini adalah manifestasi kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara periodik dan konstitusional.


Pada akhirnya, masalah utamanya bukanlah pada lembaga DPR itu sendiri, melainkan pada kualitas individu yang mengisinya.


Oleh karena itu, pendekatan yang tepat bukanlah membubarkan lembaga, melainkan memperbaiki sistem rekrutmen politik dan memperkuat pengawasan publik.


Dengan demikian, setiap wakil rakyat dapat benar-benar mencerminkan aspirasi dan kepentingan rakyat, sejalan dengan prinsip salus populi suprema lex (kesejahteraan rakyat adalah hukum tertinggi). ***

Lebih baru Lebih lama