Pertemuan itu dihadiri tokoh lintas partai dan lembaga: Megawati Soekarnoputri (PDIP), Bahlil Lahadalia (Golkar), Zulkifli Hasan (PAN), Surya Paloh (NasDem), Muhaimin Iskandar (PKB), Edhie Baskoro Yudhoyono (Demokrat), Muhammad Kholid (PKS), Ketua MPR Ahmad Muzani, Ketua DPR Puan Maharani, serta Ketua DPD Sultan Bachtiar Najamudin.
Baca Juga: Butta Panrita Kitta Memanggil!, MUI Minta Pemerintah Bijak Soal Tambang?
Presiden menegaskan para pimpinan partai sepakat menjatuhkan sanksi keras terhadap kader yang menyalahgunakan jabatan: pencabutan keanggotaan, penghentian fasilitas tunjangan, hingga moratorium kunjungan kerja luar negeri mulai 1 September 2025.
“Wakil rakyat tidak boleh abai. Mereka wajib peka terhadap aspirasi publik dan berpihak kepada kepentingan masyarakat. Kebebasan berpendapat dijamin konstitusi, selama dilakukan damai dan tertib,” tegas Prabowo.
Landasan Konstitusi dan Jurang Fakta
Pernyataan Presiden sejalan dengan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menegaskan kedaulatan berada di tangan rakyat, serta Pasal 28E UUD 1945 tentang kebebasan berpendapat.
UU No. 17/2014 (UU MD3) juga mengamanatkan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan demi kepentingan rakyat.
Baca Juga: Makassar Menyala!, Gedung DPRD Sulsel dan DPRD Kota Ludes, Staf Tewas, Rakyat Kehilangan Kepercayaan?
Namun, realitas di lapangan jauh panggang dari api. Praktik hedonisme politik, perjalanan dinas boros, proyek titipan, hingga dugaan suap legislasi sudah lama membusukkan citra parlemen.
Ledakan amarah rakyat di Makassar, ketika gedung DPRD dibakar massa, menjadi simbol runtuhnya kepercayaan.
Kekecewaan Menggunung di Sinjai
Di Sinjai, Sulawesi Selatan, gelombang kekecewaan publik kian membesar. Presidium Sinergi Jaringan Independen Gerakan Rakyat Menggugat (Sinjai Geram) – Awaluddin Adil menuding Ketua DPRD Sinjai melecehkan aspirasi rakyat karena tak kunjung menindaklanjuti persoalan mendesak.
“Harusnya ada Rapat Dengar Pendapat, tapi sampai hari ini tidak pernah dilaksanakan. Ini pelecehan aspirasi masyarakat,” tegas Awaluddin, Minggu (31/8).
Baca Juga: Sinjai Bersatu? Krisis Multisektoral "Butta Panrita Kitta" di Kampung Halaman Kadiv Propam dan Auditor Itwasum Polri
Aspirasi warga soal penimbunan pabrik porang, tambang emas PT Trinusa Resources, hingga pinjaman daerah Rp185 miliar di Bank Sulselbar dan Rp100 miliar dari PT SMI, selama ini hanya dijawab dengan janji kosong hingga saat ini
Kesetiaan pada Pancasila Dipertanyakan
Awaluddin bahkan menggugat kesetiaan Bupati Sinjai dan Ketua DPRD Sinjai pada Pancasila di Pertanyakan.
“Kesetiaan pada Pancasila itu diuji lewat keberpihakan pada rakyat. Jangan hanya pandai berjanji saat pemilihan, lalu setelah terpilih melupakan masyarakat,” ujarnya.
Baca Juga: Tajam Amanat Prabowo!, Tumpul di Sinjai?
Berdasarkan, UU No. 23 Tahun 2014 Pasal 154 menegaskan DPRD wajib memperjuangkan aspirasi rakyat. Bahkan, PP No. 12 Tahun 2018 Pasal 147 membuka ruang pemberhentian antarwaktu bagi pimpinan DPRD yang tidak menjalankan kewajiban.
Selain itu: UU No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik: partai wajib mengawasi kadernya di legislatif. Pasal 421 KUHP: pejabat yang menyalahgunakan kewenangannya hingga merugikan rakyat dapat dipidana.
Amanat Presiden Kesan Diputarbalikkan
Presiden Prabowo sendiri telah berulang kali menegaskan: “Kekuasaan itu amanah. Jangan pernah khianati rakyat kecil. Itu berarti mengkhianati Pancasila.”
Baca Juga: Sinjai Darurat Hukum? HMI Bongkar Mafia Tambang Ilegal dan Dugaan Kolusi Aparat!
Namun, di Sinjai, rakyat justru diabaikan. Mahasiswa dan masyarakat malah dihadapkan dengan aparat keamanan ketika menyuarakan penolakan tambang emas maupun kritik atas pinjaman daerah.
“Kenapa masyarakat dan mahasiswa justru dihadapkan dengan polisi? Padahal yang buat janji itu Bupati dan DPRD. Begitu terpilih, rakyat ditinggalkan,” sindir Awaluddin.
Rakyat Evaluasi
Gelombang kritik ini menegaskan satu hal: DPRD Sinjai tidak bisa lagi berlindung di balik retorika politik.
Baca Juga: Aksi Membara, Dewan Pers Ingatkan Media: Jaga Profesionalisme, Lindungi Jurnalis
Jika Ketua DPRD dan Bupati tidak segera kembali pada fungsi konstitusionalnya, evaluasi rakyat akan menjadi konsekuensi yang tak terelakkan.
Karena sebagaimana Pasal 1 ayat (2) UUD 1945: kedaulatan ada di tangan rakyat. Dan ketika suara rakyat dilecehkan, rakyatlah hakim terakhir. (Sb)