Kepemimpinan Spiritual Bagi Indonesia Untuk Mengendalikan Intelektual Yang Tidak Bermoral

Jacob Ereste

Sambar.id,Opini -
Kepemimpinan spiritual adalah pemimpin yang berbasis pada etik profetik (religius) yang berpegang pada tuntunan dan ajaran para Nabi pembawa amanah dari langit  untuk melindungi dan mengayomi serta menjaga rakyatnya untuk berkehidupan secara layak, sejahtera, aman dan nyaman hingga bisa lebih manusiawi serta beradab.


Karenanya, seorang pemimpin yang memiliki basis spiritual yang kuat dan mumpuni akan menjadi contoh, panutan dan tauladan dalam segenap sikap dan perbuatan yang bernilai luhur hingga pantas dan patut dihormati dan dibanggakan. Ciri dari kepemimpinan yang khas memiliki bobot spiritual, bisa membimbing dan mengarahkan rakyatnya untuk lebih baik, lebih sejahtera serta merasa adil dan nyaman serta aman dari segala bentuk ancaman.


Atas dasar itu, sosok pemimpim yang mempunyai kekuatan spiritual yang tangguh dan mumpuni akan sangat dikagumi, bukan ditakuti seperti rezim yang maniak dengan kekuasaan.


Rezim yang maniak dengan kekuasaan itu pasti beranjak dari niat bukan untuk mengabdi,  tetapi semata-mata atas birahi kekuasan semata. Itulah sebabnya dalam semua  bentuk dan model kepemimpinan harus amanah, menjalankan pesan dan segenap aspirasi rakyat. Bila dia adalah pemimpin organisasi, maka keoemimpinannya dari yang bbersangkutan harus dan wajib mendengarkan aspirasi dan kehendak mayoritas anggotanya yang telah besepakat bersama seluruh anggota yang dipimpinnya.


Karena itu, sosok seorang Presiden harus dan wajib memperhatikan segenap aspirasi rakyat. Maka itu menjadi sangat ironis digradasi tugasnya yang mulia itu distempel atau dipatok menjadi sekedar petugas partai. Sebab yang memperoleh stempel dan memberi stempel hanya memang cuna segitulah wawasan dan pengetahuannya tentang tata negara, apalagi untuk tata berbangsa.


Akibat dari pemahaman tata negara yang dangkal ini, Istana negara pun bisa dianggap pantas dan patut menjadi tempat kongkow tim sekses untuk Pilpres, karena kekuasan diperoleh atas nafsu serakah, hingga tidak memahami fungsi dan tugasnya yang utama  sebagai abdi negara atas amanah rakyat. Dan kedunguan soal kebangsaan ini merupakan tercermin dari keculasan cara mengatasi kemiskinan saat rakyat menfalami kelangkaan pangan, rakyat justru disarankan mengkonsumsi eceng gondok.  


Ibarat pengantin baru yang harus segera menata rumah tangganya yang mandiri secara ekonomi, berdaulat dalam politik serta berkepribadian dalam budaya, toh pemimpin rumah tangga yang belum matang itu hanya bisa menjual kekayaan warisan yang ada, seperti Indosat dan kapal tengker yang mungkin tidak seberapa nilainya dibanding dengan sistem ijon untuk proyek kereta cepat yang macet dan mangkrak sampai sekarang. Lalu -- akibat masih dalam suasana kasmaran yang berat -- maka khayalan untuk membangun rumah baru di Penajam, Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur pun habis-habisan dipaksakan, meski nantinya iramanya seperti hendak menggadaikan atau melelang rumah lama yang diwariskan di Jakarta. Boleh jadi  ide dan gagasan konyol ini sambil mengharap bisa mengangtongi sedikit uang dari transaksi yang mungkin juga dilakuksn dengan cara yang sumir pula.


Demikiankah awal kisah dari latar belakang mimpi tampilnya sosok kepemimpinan spiritual di Indonesia yang sudah dirintis oleh GMRI (Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia) sejak beberapa tahun silam, kini terbukti relevansinya bagi Indonesia hari ini yang tengah dilanda multi krisis, utamanya krisis etika, moral dan akhlak karena tercerabut dari akar spiritual dari warisan para luhur, karena taat dan tidak patuh pada etik profetik yang dianggap usang. Padahal masalah negara dan masalah bangsa hanya mungkin bisa dibenahi oleh pemimpin yang nempunyai bobot spiritual, baru kemudian  diperlukan bobot intelektual. Karena kalau hanya mengandalkan bobot intelektual, toh mereka yang maling dan korup -- bahkan khianat pada rakyat sampai hari ini semua bergelar akademik yang hebat. Tapi etika, moral dan akhlak mereka jeblok. Nol besar, tak mengendus etik profetik sedikit pun.

(*)


Banten, 21 Mei 2023

Lebih baru Lebih lama