Agama dan Nihilisme

Ismai Asso
Kelahiran Kampung Assolipele Distrik Walesi Lembah Balim Jayawijaya Papua Pegunungan kini menganggur tinggal dirantauan.
Sambar.id, Opini - Ahli ilmu psikologi sosial mengakui bahwa manusia sesungguhnya tidak "betah", hidup lama-lama didunia ini, jika manusia tanpa mempunyai harapan atau tujuan hidup yang itu dilandasi oleh suatu sistem kepercayaan yang disebut mitologi atau agama. 


Tujuan itu sendiri tidak melekat pada benda tapi pada keyakinan, apapun keyakinan itu. 


Manusia tidak akan pernah bisa bahagia, kalau hidup tanpa ada pegangan dan landasan, mitologi, betapapun palsunya mitos itu, ia memberi makna hidup bagi yang mempercayainya. 


Manusia untuk itu butuh simbol, alamat, tanda, signal, untuk menghayati makna terdalam dari arti hidupnya untuk mengarahkan semua pengabdian hidup eternal (dunia).


Kebalikan dari tidak percaya adalah nihilisme, suatu kepercayaan juga, tapi percaya pada ketidak percayaan. 


Nihilisme sesungguhnya oleh akibat pencerahan dan kepercayaan rasionalisme yang berlebih. Setiap yang tidak dilihat-buktikan bagi para rasionalis secular adalah mitos. 


Tokoh Nihilisme Albert Camus, dan Friedrich Nietzsche tidak percaya Tuhan. Nietzsche mengumumkan, 'Tuhan telah mati'. Kita hidup bebas (tanpa Tuhan). 


Bagi Albert Camus hidup atau mati sama saja, atau mati sekarang atau nanti akhirnya mati juga. Baginya hidup hanya beban lebih baik mati sekarang tanpa perlu ada kepercayaan atau harapan masuk sorga atau takut neraka. 


Karena dia sepenuhnya tidak percaya keberadaan sorga dan neraka itu tempatnya ada dimana. Dia sangsi akan eksistensi tempat itu. 


Dia kemudian bunuh diri, karena sama saja tiada pengharapan mati nanti atau sekarang.


Dominasi ilmu dan tekhnologi di Barat dewasa ini sebagai akibatnya seculrisme (paham hanya percaya pada ilmu dan tekhnologi saja), menyebabkan orang Barat banyak yang kurang memperdulikan agama. 


Malahan modernisme sebagai piranti atau berhalaan baru bagi mereka adalah gejala umum. 


Mereka lebih banyak menganggap agama hanya urusan kuburan atau mati yang amat jarang di perhatikan, adalah problema tersendiri di Barat. 


Berbeda dengan agama samawi (langit), abramic religian, yang pecaya sepenuhnya pada adanya Tuhan. 


Agama atau lebih tepat religi atau agama alam, bumi (ardhi), seperti Religi Melanesia, Hindu, Budha, Conghucu, Shinto juga mendasarkan kepercayaan terhadap obyek tertentu menyerupai Tuhannya agama samawi (Islam, Kristen dan Yahudi). Tapi agak aneh bahwa agama Shinto adalah agama tanpa konsep Tuhan.


Religi Papua


Tapi apakah hanya agama formal sajakah, yang berhak mengisi isi hati kita untuk mendorong kita, manusia, menghayati hidup, agar hidupnya bermakna, dan berpengharapan? 


Banyak ahli berpendapat bahwa tidak hanya agama, yang memberi makna hidup, bagi kehidupan manusia. 


Religi Papua (Adat atau Kaneke), dapat juga memberi arti dan makna hidup. 


Jangankan Kaneke atau religi semacamnya yang memiliki konsep dan sistem kepercayaan, ideologi komunis yang Anti Tuhan sekalipun, adalah sistem kepercayaan yang memberi semangat para pasukan Unisoviet akan ideologi komunis rela mati berhadapan dengan pasukan Amerika yang Kapitalis.


Demikian religi Melanesia Asli Papua, agama apapun yang mencoba menghancurkan atas nama kebenaran agama terhadap pemeluk agama lain dihalangi oleh adat. 


Adat yang dimaksudkan adalah menyangkut isme (paham), bentuk konkritnya; simbol, signal, alamat, tanda. 


Simbol adat budaya Melanesia itu cirinya bahasa, warna kulit, bentuk rambut, marga, kepercayaan adat, pekerjaan, mata pencaharian, tempat tinggal atau singkatnya semua yang mengikat persamaan dan persatuan sebagai simbol persaudaraan orang Papua. 


Semua unsur adat (kaneke) itu sarana (alat) perekat, sebagai alamat atau sebagai tanda, persaudaraan Papua, dikala dichotominasasi oleh agama juga terus mau memebedakan sebagaimana kekhawatiran para pemuka agama diatas. 


Agama tidak boleh mendominasi pemikiran manusia Papua untuk melakukan polarisasi dalam kesatuan adat dan budaya.


Kalaupun ada usaha dominasi suatu agama dengan membumi hanguskan religi Asli Melanesia (jati diri manusia Papua), maka agama demikian harus ditolak. 


Islam misalnya tidak boleh memaksakan diri dengan memasarkan kebenaran keyakinannya pada para pemeluk agama di Papua yang sudah beragama. 


Jika itu terjadi maka harus di hadapi oleh Adat bukan oleh agama. Oleh sebab itu adat sebagai pemersatu, maka kecenderungan agama yang membunuh Riligi Melanesia Asli (budaya dan Kaneke) harus di lawan. 


Islam juga misalnya mau mengharamkan babi adalah sesuatu yang memaksakan atau akan menghilangkan adat, walau baik menurut islam tapi tidak dapat diterima oleh adat meskipun sekunder posisinya dalam adat. 


Oleh sebab itu setiap kecenderungan membasmi adat dan budaya oleh agama harus di cegah. Tapi kalau itu menyangkut hal yang primer dan prinsip bukan yang sekunder.


Religi Melanesia dan Keistemewaannya


Dalam kesempatan manapun, kaum pria, para prajurit dan orang-orang berpengalaman, dalam upacara perang selalu menyatakan dengan semangat menyala-nyala. Mereka sering mengucapkan kata-kata seperti ini :


Nai hawolok...Nai Hawolok...Nai Hawolok...


Artinya : "Damailah negeriku...Damailah tanahku... atau Tentramlah alamku...".


Sebenarnya diperhatiakan arti dari ucapan kata-kata ini, dalam religi melanesia (adat dan budaya Papua sendiri), sudah ada konsep damai. 


Hanya kedamaian disini berbeda dengan konsep agama. Ucapan kata-kata ini penulis ingat persis sampai sekarang ini. 


Ungkapan ini penulis dengar pada usia 13 tahun (1988), saat penulis kelas 6 Madrasah Ibtidaiyyah (SD), Merasugun Asso Walesi, tatkala orang-orang Woma yang dibantu oleh orang-orang Tiom, yang bermukim sekitar Kota Wamena datang membakar rumah-rumah orang Walesi, dalam perang Suku Antar Konfederasi Suku Mukoko dan Walesi- Lanitapo.


Saat itu ada seorang tokoh Tua yang pada masa mudanya adalah seorang prajurit perang yang berani, namun kala itu orang Tua ini sudah berumur sekitar 80 tahun. 


Orang Tua itu namanya Yahelega Asso. Dia berani, walau musuh yang datang usianya muda-muda dan ditangannya menghunus kampak, parang, tombak, panah siap menebas leher siapapun dihadapannya. 


Yahelega Asso tidak lari karena takut, malah dia lari bolak-balik, kesana-kemari persis seperti upacara menyambut tamu dalam adat Wamena.


Sambil lari kesana-kemari tanpa memperdulikan musuh sudah dekat hanya beberapa meter,(mungkin 10 meter), dari mulutnya keluar kata-kata : 


“Nai Hawolok... Nai Hawolok...Nai Hawolok.. dan seterusnya”. 


Saya kala itu disana tapi saya lari disemak-semak, itupun di kastau ibu guru orang Bugis agar saya sembunyi dan lari kesemak-semak agar tidak dibunuh musuh. 


Saya anak baru usia 13 tahun, tapi mendengar ucapan kata-kata orang itu, tiada rasa takut sedikitpun dalam jiwa ini saya rasakan, sungguh luar biasa !


Rahasia Nai Hawolok


Kata-kata demikian selalu dan dimana-mana di Lembah Balim, dalam berbagai kesempatan terutama keadaan genting utamanya.


 Nai Hawolok dalam genting seperti perang suku di ucapkan oleh mereka yang diserang secara tiba-tiba oleh musuh dalam perang antar konfederasi suku di Wamena. 


Seseorang tokoh, kepala suku, atau Ap Tugi Metek (kepala suku perang), akan ucapakan kata-kata ini, pada saat diseerang musuh. 


Seseorang akan berlari kesana-kemari (persis yang dilakukan Yahelega Asso), sambil bersumpah dengan ucapan kata-kata, Nai Hawolok...berulang-ulang.


Makna di balik kata-kata ini sesungguhnya, mengundang tidak saja para arwah leluhur, tetapi juga Tuhan dalam konsepsi religi Lembah Baliem.


Ungkapan ini turut diundang, tidak saja, kepada manusia hidup tapi semua alam turut membela mempertahankan diri dari penaklukan daerahnya oleh musuh. 


Nai Hawolok, secara implisit mengundang semua makhluk agar segera hadir turut ambil bagian dalam mendamaikan dan mempertahankan tanah dan wilayah kekuasaan.


Nai Hawolok lebih dimaksudkan agar semua makhluk selalu tenang dan waspada penuh siaga, jangan kocar-kacir bila musuh datang menyerang, tapi bersiagalah dan diam ditempat untuk menghadapinya dengan berani.


Dalam pada itu, Nai Hawolok oleh seorang kepala perang, juga berarti menyemangati seluruh alam sadar dan menghadirkan arwah para ahlawan leluhur dan pasukan dibangunkan semangat bahwa pertanda awal membunyikan genderang perang. 


Kepala perang memanggil semua manusia dan alam, turut ambil bagian dalam menghadapi musuh. 


Sekali lagi yang di undang hadir seluruh arwah seakan tidak hanya manusia, tapi rerumputan, pepohonan, baik hewan didalam tanah maupun diatas tanah, ikut turut hadir menyemangati rasa keberanian menghadapi musuh. 


Nai Hawolok ungkapan oleh kepala perang untuk menenangkan warganya yang tidak hanya manusia tapi juga hewan dan binatang ikut tenang agar tidak panik menghadapi musuh didepan mata.


Ada hal yang menarik adalah kesatuan atau penyatuan (unity) antara manusia dan alam yang unik, ketika Ap Tugi Metek, mengucapakan kata-kata Nai Hawolok, dia extasi, dia sudah masuk alam lain, dalam alam penyatuan wujud kehidupan lain, alam perang. 


Dia sudah tidak menyadari lagi, dari pintu mana dia masuk dan dia benar-benar tidak ingat diluar alam, dunia darimana dia tadi datang beranjak. 


Dia dialam dunia lain, yang dialam itu menjadi kehidupan dunia lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan dunia tadi.


Dalam situasi extasi ini sama sekali tiada rasa takut, yang ada hanya tawa, permainan, permainan perang suku kedua belah pihak. 


Tapi begitu perang usai dengan korban dan luka masing-masing pihak baru kesadaran, oh... saya dimana... tadi... saya dalam alam extasi. 


Karena dalam alam Nai Hawolok, yang ada hanya berani, menertawan musuh yang lari terbirit-birit karena takut, mengejar dan di kejar, dalam alam dunia lain, sepenuhnya alam permainan. 


Kita baru menyadari, setelah kembali...kembali ke alam dunia pertama. Tapi perang itu

sendiri, adalah dunia lain, dunia permainan, yang tanpa rasa takut akan mati dan luka.


Dunia alam perang memalingkan dirinya dari mana saya datang, dan dimana saya ada kini, yang ada hanya dunia ini, dunia perang. 


Sebanyak berapapun pasukan musuh akan dihadapi dengan berani, dunia "sana" sudah tidak mengingatkanya takut

akan kematian, yang ada permainan, permainan perang. 


Tetapi yang menarik, apabila sapaan dan undangannya sampai baik kepada semua makluk pemilik atau penunggu tempat wilayah georafi teritorialnya yang disapa dengan kata ‘Nai Hawolok’, agar ikut serta dan menggabungkan diri ambil bagian dalam membela

wilayah kekuasaan.


Seakan semua alam beserta semua isinya, telah mendengar, datang Hadir memberi restu. Kalau keadaan bahaya, Sang Kehadiran, akan menolong menghindarkannya dan atau dapat mempertahankan wilayah kekuasaanya adalah keistimewaan dalam perang

adat. 


Karena itu dengan semangat Nai hawolok semua turut di undang dan diajak tenang damai adalah semua makhluk baik yang ada dibawah tanah ataupun diatas

tanah.


Peran Negatif Agama


Betapa tidak sedikit oleh akibat kefanatikan kepemelukan agama, peperangan (pembunuhan, pemerkosaan, penghinaan harkat-martabat manusia) atas nama kebenaran agama telah menjadi banyak bukti terjadi dimuka bumi. 


Andaikan rumput, gunung, bukit, batu, tanah, pohon, hewan dan lain dapat berbicara, ia dapat bercerita bahwa; Oleh akibat kefanatikan kepemelukan agama, ribuan nyawa anak manusia menjadi korban sia-sia kebiadaban atas nama kebenaran agama. 


Agama penyebab utama banyak manusia dibunuh. Agama menyebabkan telah banyak korban manusia menjadi sia-sia. 


Demikianlah contoh di Ambon, agar kita tidak jauh-jauh menyebut Bosnia atau Perang Salib pada masa silam.


Demikian baikkah agama sesungguhnya? Pasti ada yang membela agama, dengan

mengatakan bahwa yang salah bukan agama tapi manusia sebagai pemeluk agamanya.


Herankah kita oleh ulah kefanatikan pemeluk agama, ratusan bahkan ribuan angka yang diberikan oleh Dewan Gereja Indonesia, pembakaran Gereja oleh kaum pemeluk fanatik Islam yang melakukan pembakaran, terutama menjelang Hari Raya agama Nasrani; Natal dan Paskah? 


Bahkan termasuk Pendetanya mendapatkan nasib sial, yang terjadi sejak zaman Soeharto berkuasa?


Hal demikian di Indonesia (negara yang membanggakan diri sebagai negara demokratis), sampai dengan pemerintahan yang berkuasa sekarang, perlindungan terhadap rakyat pemeluk agama dianggap lebih parah dan paling buruk.


Perlindungan kaum pemeluk agama bukan agama mainstream sangat kurang oleh pemerintah Indonesia, menjadi alasan benar kekerasan oleh agama menyebabkan banyak korban sia-sia, oleh akibat kepemelukan agama yang fanatik buta. 


Semua ini menjadi contoh keburukan agama atau oleh akibat kepemelukan fanatik buta pemeluk agama.


Kalau begitu kenapa kita mau mempercayai agama sebagai baik? Hanya agama sajakah yang membawa kita pada kebaikan, harapan dan tujuan hidup, termasuk Perjuangan penegakan kebebasan Papua bangkit? Menurut saya tidak ! 


Relegi Melanesia Asli (baca Adat Budaya) betapapun dianggap palsu dan rendah oleh agama dapat membawa juga kebaikan, tujuan dan harapan, asalkan kita tidak membakar hangus Adat kita.


Kita dapat berpedoman sebagai penuntun arah, tujuan, alamat, signal, menuju pada obyek kepercayaan untuk mencapai hidup bahagia, hidup ada magna, hidup berarti, akhirnya sebagai semangat pemersatu dalam melakukan perlawanan dibawah payung Papua Bangkit. 


Agama sesungguhnya kepercayaan pada obyek transendental, diluar dari kenyataan disini. 


Agama adalah kepercayaan pada hal-hal yang bersifat eskatologi (Sorga, Neraka, Tuhan, Maikat, Setan dan juga Iblis) yang tidak dapat dibuktikan oleh panca indera dan akal manusia siapapun di dunia.


Kita dianjurkan oleh agama mempercayai begitu saja, tanpa pernah merasa benar, atau sudah merasakan bagaimana sorga, atau panasnya api neraka itu. 


Karena itu agama sesungguhnya juga adalah idealisme, idealisme yang memproses terus untuk

memberi janji, janji hidup manis sorga dengan para bidadari dan ketakutan akan api neraka, tanpa pernah kita tahu persis benar ada atau tidak tempat itu.


Bahkan dimana letak tempat-tempat itu beserta Sang Pembuat dan Pemilik Tempat itu (Tuhan). 


Siapa saja manusia tidak tahu, kecuali kembali kepada mitos (percaya). Agama adalah suatu sistem kepercayaan tanpa pernah kita mengalami benar-benar kebenaran ceritera semua itu. 


Dogma kepercayaan agama terus ditanamkan (indogtrinasi), oleh para ulama, pendeta dan pastor dari sejak kita belum lahir sampai kita mati, ceritera (mitos) terus akan begitu bukan?


***. ***

Disini mencoba menampilan experimentasi pemikiran sederhana guna memberi kontribusi atas berbagai masalah kepapuaan guna mencapai kemaslahan bersama atas berbagai masalah sosial politik. Penawaran pemikiran lebih pada perspektif budaya Papua, yakni; berdasarkan nilai-nilai Adat Budaya Lembah Balim yang dihayati dalam dan dari sumber Mythologi Lembah Balim, dengan intrepretasi lebih bebas sesuai konteks sosial budaya Papua dalam dinamika perubahan.


Ismai Asso Kelahiran Kampung Assolipele Distrik Walesi Lembah Balim Jayawijaya Papua Pegunungan kini menganggur tinggal dirantauan.

Lebih baru Lebih lama