Sambar.id, Opini || Mencermati upaya TINS dalam mengelola dan sekaligus mengamankan aset negara yaitu Timah Di indonesia yang disampaikan oleh Dirut PT.Timah Tbk ,Restu Widiyantoro di komisi 6 DPRI beberapa waktu lalu harus dimaklumi.
Dimana TINS saat ini sebagai pemilik WIUP Timah terbesar di bangka Belitung masih mendapatkan produksi logam hanya 25% saja ,sedangkan pihak smelter swasta 75% menyumbang produksi ekspor logam timah periode 2023-2024 dan semester 1 2025.
Masivenya kegiatan tambang ilegal,penyelundupan pasir dan balok timah saat ini,mengharuskan pemilik IUP yaitu PT.Timah Tbk mau tidak mau kembali menjaga aset timah sebagai penyumbang devisa negara berbenah dan harus tegas menumpas giat tambang ilegal yang jelas- jelas makin menggila dan terjadi dalam WIUP PT.Timah baik yang terjadi didarat ,dan sebagian besar di laut.
Peran Dirut Baru TINS diuji saat ini apakah mampu mengamankan IUPNYA dari penjarahan aset ,menjaga netralitas,dan berani menghadapai para mafia pertimahan dibabel,sebagaimana kasus korupsi Tata kelola komoditas timah tahun 2015-2022 yang merugikan negara 271 triliun rupiah.
Guna meningkatkan nilai dan jumlah ekspor yang saat ini digerus kompetitor yang nota benya memiliki luasan IUP yang tidak sesuai dengan produksi logam timah ekspornya diduga juga mendapatkan asal usul timahnya dari WIUP PT.Timah yang berasal dari masyarakat penambang tanpa legalitas, disponsori kaki tangan para kolektor.
Selain itu harapan masyarakat babel akan peran PT.Timah sebagai Induk penambang rakyat selama ini tidak sesuai harapan.
Secara proses perizinan tambang ber SPK menuju legalitas patut diperbaiki secara serius ,selain pengawasan di wilayah tambang dalam IUP yang sangat lemah ,ditambah banyaknya kepentingan dalam giat tambang ilegal yang sampai saat ini sulit dituntaskan.
Di internal perusahaan PT.Timah masalah ke SDMan juga menjadi api dalam sekam terkait kesejahteraan karyawan yang mulai tergerus sejak kasus Komoditas timah tidak pernah usai dan menjadi badai dalam laba perusahaan , walau report laporan keuangan perusahaan laba naik secara signifikan ,tanpa produksi timah yang meningkat.
Hegemoni sebagai perusahaan TBK atau terbuka guna mengangkat nilai jual saham di pasar bursa,membuat manajemen sebelumnya lupa guna menata dan memaksimalkan hak dan kewajiban personal karyawan nya ,sebagai aset yang paling penting dan berharga di perusahaan.
Adanya program efisiensi dengan pensiun dini " ProMapan" bagi karyawan dan adanya Perseteruan Hubungan Industrial terkait Peraturan direksi tentang PPI pada masa manajemen sebelumnya dengan serikat pekerja menunjukan bahwa PT.Timah saat ini belum baik-baik saja .
Dilema BUMN terkait produksi timah finalnya pada logam ekspor yang hanya 25% dari produksi logam ekspor balok timah Babel cukup menjadi indikator maraknya kegiatan ilegal ,dan lemahnya pengawasan dan penindakan hukum oleh PT.Timah sendiri,dan kembali terulang pada tahun 2017 -2018 ,dimana saat itu manajemen PT.Timah dibawah komando M.Riza Pahlevi Tabrani sebagai Dirut TINS melakukan langkah ekstrem guna mengamankan aset timah dalam WIUP.PT.Timah yang berujung pada Kasus Korupsi 300 Triliun dengan dampak kerusakan lingkungan di Babel,walaupun saat itu produksi balok timah TINS naik signifikan di angka 85.000 m/ton logam di 2019 mengalahkan produksi timah Cina.
Harapan memperbaiki tata kelola timah di Babel tentu saja ada jika kolaborasi beberapa stake holder terjalin sinergis.
Namun upaya ini perlu didukung semua pihak terkait secara serius , karena oligarkhi bisnis pertimahan masih masive terjadi di Babel. (*)