Hidayat, PT MSP, dan Bayang-Bayang Kekuasaan: Siapa Berani Menyentuh 'Keluarga Istana'

Oleh : Rikky Fermana, S.IP., C.Med, C.Par, C.NG, C.IJ, C.PW.


SAMBAR.ID, Bangka Belitung - Saat Presiden Prabowo Subianto dengan tegas memberi amanat kepada Gubernur Kepulauan Bangka Belitung, Hidayat Arsani, untuk memutus mata rantai penyelundupan pasir timah yang selama ini telah menjadi luka lama di negeri penghasil logam strategis itu, publik menyambut dengan harapan besar. 


Harapan bahwa di bawah kepemimpinan nasional yang kuat dan regional yang responsif, praktik culas para mafia timah bisa dihentikan. Namun, kenyataan tak semudah retorika.


Dalam konferensi pers pasca pelantikan pada 17 April 2025, Hidayat, yang dijuluki Panglima Dayat, dengan lantang menyatakan akan membentuk tim terpadu. Tak hanya melibatkan TNI, Polri, dan Satpol PP, tetapi juga melibatkan tokoh masyarakat dari tingkat desa hingga kota. 


Janjinya terdengar heroik: menjaga seluruh pelabuhan, menutup celah penyelundupan dari desa, kecamatan, hingga kabupaten. Namun, sebulan lebih berlalu, dan yang terlihat justru paradoks: penyelundupan tetap berjalan, mafia tetap bebas, dan hanya aktor-aktor kecil seperti sopir truk yang menjadi tumbal hukum.


Yang lebih mengejutkan, sorotan publik kini tertuju pada salah satu pemain besar dalam industri smelter di Bangka Belitung: PT Mitra Stania Prima (MSP). Perusahaan ini santer disebut-sebut berada dalam jejaring bisnis keluarga Presiden sendiri, melalui adiknya Hasyim Djojohadikusumo dan keponakan Harwendro Adityo Dewanto.


Dugaan ini bukan isapan jempol semata. Indikasi bahwa PT MSP menampung pasir timah dari Pulau Belitung yang kemudian dikirim ke Bangka, bahkan dengan dokumen yang meragukan, mencuat ke permukaan dengan frekuensi yang tak bisa diabaikan.


Pertanyaannya, akankah Gubernur Hidayat benar-benar berani menindak perusahaan yang diduga memiliki afiliasi dengan kekuasaan tertinggi negara? Beranikah ia memanggil manajemen PT MSP untuk dimintai pertanggungjawaban, untuk diperiksa RKAB (Rencana Kerja dan Anggaran Biaya), IUP (Izin Usaha Pertambangan) yang menjadi mitranya, serta mengecek apakah asal pasir timah yang ditampung benar-benar berasal dari sumber legal? Atau seperti pepatah lama: "Seorang panglima tak akan berani melawan rajanya"?


Kekhawatiran ini tidak mengada-ada. Praktik penyelundupan pasir timah antar pulau, khususnya dari Pulau Belitung ke Bangka, sudah lama diketahui publik. Bahkan para pelaku di lapangan sudah hafal lubang-lubang regulasi yang bisa dimanfaatkan. 


Modusnya? Dokumen kerjasama kemitraan dengan IUP resmi, tapi barang yang dipasok berasal dari penambangan liar. Pasir timah dikirim seolah-olah legal, kemudian dilebur dan dijadikan balok timah—produk akhir yang sulit ditelusuri asal-usulnya.


Mirisnya, dari berbagai kasus yang mencuat, penindakan hanya menyentuh level sopir truk. Dalam catatan investigasi publik, pada bulan Mei 2025 saja terjadi beberapa kali pengiriman pasir timah ilegal. Salah satunya terjadi pada 26 Mei, ketika sembilan unit truk diduga membawa pasir timah ilegal dari Belitung dan masuk ke kawasan industri Jelitik, Bangka, pada malam hari. 


Tujuh di antaranya disebut membawa timah milik salah satu cukong besar di Bangka, inisial AH. Namun, yang ditetapkan tersangka justru sopirnya saja. Sementara pemilik barang, yang disebut-sebut sebagai “VV” di Belitung dan “AH” di Bangka, sama sekali tak tersentuh oleh aparat penegak hukum (APH).


Ini memperkuat kecurigaan bahwa telah terjadi simbiosis mutualisme antara oknum aparat, birokrat, dan pemilik modal besar. Mafia timah bukan sekadar jaringan ilegal, tapi sudah menjelma menjadi sistem bayangan yang menjangkiti sendi-sendi hukum, pemerintahan, dan penegakan aturan.


Kembali ke PT MSP, sorotan publik menguat karena hingga kini tidak ada satu pun pernyataan resmi dari pihak manajemen yang menjawab tudingan keterlibatan mereka dalam praktik penyelundupan tersebut. Awak media di Bangka Belitung yang mencoba meminta klarifikasi pun tak digubris. Sikap diam ini justru mempertegas asumsi: ada yang sedang disembunyikan, atau ada kekuatan besar yang sedang dilindungi.


Ironisnya, perusahaan BUMN seperti PT Timah Tbk yang seharusnya menjadi tulang punggung negara dalam mengelola komoditas timah, malah makin tersingkir. Pengiriman pasir timah yang seharusnya masuk ke gudang PT Timah justru mengalir ke smelter milik swasta. 




Dengan rencana grup usaha Hasyim Djojohadikusumo untuk membangun pabrik peleburan timah di Batam, kekhawatiran publik makin bertambah. Bisa jadi, seluruh pasokan timah dari Bangka Belitung akan dikirim ke luar daerah dengan modus kerja sama, menjadikan PT Timah hanya penonton di rumah sendiri.


Apa dampaknya? Kedaulatan negara atas kekayaan alamnya terancam. Pemerintah pusat bisa kehilangan kontrol produksi. Daerah kehilangan potensi pendapatan. Dan PT Timah sebagai BUMN, bisa saja kolaps karena kehilangan bahan baku dan pasar.


Hidayat Arsani kini berada di titik krusial. Apakah ia akan membuktikan bahwa jabatannya bukan sekadar hadiah politik, tetapi amanah dari rakyat yang harus dijaga? Apakah ia berani menunjukkan bahwa amanat Presiden berlaku bagi semua, termasuk bagi keluarganya sendiri? Jika tidak, sejarah akan mencatatnya sebagai pemimpin yang gemar retorika tapi tak sanggup bertindak.


Dalam konteks yang lebih luas, opini publik perlu dibangun agar kasus ini tidak tenggelam. DPRD Bangka Belitung mesti memanggil PT MSP untuk memberikan penjelasan terbuka. Lembaga pengawas seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Bareskrim Mabes Polri harus turun langsung, tidak bisa hanya mengandalkan laporan daerah. Audit forensik terhadap dokumen pengiriman, izin IUP, dan jalur logistik harus dilakukan secara menyeluruh.


Pers juga harus terus menyorot. Media adalah benteng terakhir publik dalam menagih keadilan dan transparansi. Jangan sampai industri tambang kita menjadi contoh sempurna dari “ekonomi ekstraktif” yang hanya menguntungkan elite sempit tapi memiskinkan masyarakat luas.


Bangka Belitung adalah tanah kaya yang telah lama dieksploitasi. Tapi kekayaan itu tidak boleh jatuh ke tangan segelintir orang yang kebal hukum. Jika kita ingin membangun masa depan yang adil dan berdaulat, maka sekaranglah waktunya: bersihkan mafia tambang, tuntaskan penyelundupan, dan kembalikan kendali negara atas sumber dayanya.


Dan untuk Gubernur Hidayat Arsani, jika benar ia ingin dikenang sebagai Panglima rakyat, bukan boneka kekuasaan, maka ujian sesungguhnya ada di depan mata: beranikah ia menyentuh nama besar di balik PT MSP?


-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Penulis : Rikky Fermana,S.IP.,C.Med, C.Par, C.NG, C.IJ, C.PW (Penanggungjawab KBO Babel, Ketua DPD Pro Jurnalismedia Siber/PJS Babel, Ketua DPW IMO Indonesia dan Kontributor Berita Nasional)

Anda dapat mengirimkan artikel dan atau berita berisi sanggahan atau koreksi kepada redaksi media kami, sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat (11) dan ayat (12) undang-undang No 40 tahun 1999 tentang Pers.***



Lebih baru Lebih lama