Dugaan Memeras dan Kriminalisasi, Kejari Tolitoli Dituding Desak Kontraktor Bayar Rp. 1 Miliar Demi Hentikan Kasus

LBH SULTENG menggelar Konferensi Pers dugaan kriminalisasi dan pemerasan yang dilakukan Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Tolitoli, Dr. Albertinus P. Napitupulu, terhadap seorang kontraktor bernama Benny Chandra/F-Ibra Sambar Id.


SAMBAR.ID, Palu, Sulteng - Lembaga Bantuan Hukum Sulawesi Tengah (LBH Sulteng) melaporkan dugaan kriminalisasi dan pemerasan yang dilakukan Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Tolitoli, Dr. Albertinus P. Napitupulu, terhadap seorang kontraktor bernama Benny Chandra. 


Dugaan tersebut terekspos seiring beredarnya rekaman percakapan dan kronologi lengkap yang menunjukkan tekanan sistematis terhadap Benny agar menyerahkan uang Rp 1 miliar demi menghentikan kasus hukum yang tengah berjalan.


Berdasarkan keterangan resmi LBH Sulteng, melalui Direktur LBH, Julianer Aditia Warman, S.H, mengungkapkan bahwa dugaan pemerasan bermula dari percakapan WhatsApp antara Benny dan Kepala Kejari Tolitoli pada 3 Desember 2024, yang menanyakan rencana kedatangan Benny ke Tolitoli terkait pembayaran proyek oleh Pemda. 


Setelah itu, Benny dipanggil ke Kantor Kejari dan dalam pertemuan tersebut, dirinya diminta membayar "Hutang Pribadi" kepada mantan Kepala Kejati Sulteng, Sampe Tuah, sebesar Rp1 miliar.


“Saya tidak pernah berutang. Tidak pernah ada transaksi, apalagi tanda tangan kuitansi,” ujar Benny dalam keterangannya yang disampaikan LBH Sulteng. Namun, Kepala Kejari tetap menekan agar Benny membayar, bahkan menyebut hubungan dekat Sampe Tuah dengan Jaksa Agung sebagai alasan.


Benny juga mengaku dipaksa menyerahkan sertifikat tanah atas nama dirinya kepada perantara yang diduga merupakan orang dekat Kejari. Rekaman percakapan yang telah beredar luas menunjukkan bagaimana sertifikat tersebut diduga akan dijual, dan hasilnya bagikan kepada sejumlah pihak, termasuk oknum jaksa.


Dalam kronologi yang dipaparkan, sejumlah pejabat Pemda Tolitoli dan mediator seperti Yunikel Siahaya dan Raynsfiary Fents Raoef disebut beberapa kali melakukan intervensi agar Benny tunduk dan memenuhi tuntutan pembayaran. 


Bahkan, dalam rekaman menunjukkan adanya negosiasi antara mereka dan Benny terkait penyerahan sertifikat sebagai "jaminan" agar kasus tidak naik ke tahap penyidikan.


Situasi makin pelik setelah pihak Kejaksaan mengeluarkan surat panggilan secara mendadak dan tidak sesuai prosedur hukum. Tercatat setidaknya lima kali Benny menerima panggilan sebagai saksi, sebagian dikirim melalui pihak ketiga, termasuk ketua RT dan istri mediator, bukan melalui jalur resmi.




LBH Sulteng menyebut kasus ini sarat pelanggaran hukum dan dugaan penyalahgunaan wewenang. Mereka mendesak Komisi Kejaksaan dan Jaksa Agung Muda Pengawasan untuk turun tangan.


“Kami melihat ini sebagai bentuk nyata kriminalisasi berbasis konflik pribadi dan ekonomi. Hukum dipakai untuk menekan pihak yang lemah secara struktural,” ujar Direktur LBH Sulteng dalam siaran persnya, Selasa, (01/7/2025).


Proyek yang menjadi obyek perkara adalah pembangunan Pasar Rakyat Dakopamean senilai lebih dari Rp5,6 miliar yang dimulai tahun 2018. 


Meskipun sempat terhambat dan dilanjutkan dengan anggaran APBD-P 2019, proyek itu telah selesai 100%. Namun, proses pembayaran disebut-sebut sengaja ditahan oleh oknum tertentu di Kejaksaan agar bisa digunakan sebagai alat tekanan terhadap Benny.***


Source: Humas LBH Sulteng 

Lebih baru Lebih lama