Sambar.id, Luwu, 7 Agustus 2025 — Gerakan Aktivis Mahasiswa (GAM) Luwu Raya menggebrak pintu gerbang PT Bukaka Karya Mandiri Sejahtera (BKKMS) di Desa Toddopuli, Kecamatan Bua, Kabupaten Luwu, menuntut penghentian pembangunan smelter nikel yang diduga menggunakan dokumen AMDAL kedaluwarsa.
Aksi yang dimulai dengan blokade Jalan Trans Sulawesi ini membuat arus lalu lintas macet total. Spanduk bernada sindiran keras dibentangkan: “AMDAL Dikunci, Smelter Dikebut” dan “PT BKKMS Membangun Smelter Menggunakan Dokumen Expired”.
Koordinator aksi Aswin Saharuddin mengungkap hasil investigasi GAM:
“AMDAL PT BKKMS terbit 2013, disahkan 2014 oleh Gubernur Syahrul Yasin Limpo. Proyek baru mulai konstruksi tahun 2025. Itu artinya dokumen sudah tidak relevan, melanggar Pasal 22 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2009 yang mengharuskan pembaruan AMDAL jika terjadi perubahan kondisi lingkungan atau rencana usaha.”
Menurut Aswin, penggunaan AMDAL lama dalam proyek strategis seperti smelter nikel adalah bentuk pembangkangan hukum.
“PT BKKMS harusnya transparan, bukan malah membangun dengan dokumen yang secara hukum sudah mati,” tegasnya.
Lebih jauh, Wawan Kurniawan, Jenderal GAM Luwu Raya, membeberkan perubahan fatal dalam proyek ini:
“AMDAL 2013 menyebut pengolahan laterite ore menjadi ferronickel. Faktanya di lapangan dibangun smelter high nickel matte. Perubahan jenis teknologi dan output ini wajib AMDAL baru sesuai Pasal 26 PP No. 22 Tahun 2021. Jika dibiarkan, ini preseden buruk bagi penegakan hukum lingkungan.”
Potensi Pelanggaran Hukum
GAM Luwu Raya menilai PT BKKMS berpotensi melanggar:
1. UU No. 32 Tahun 2009 Pasal 36 ayat (1) – Larangan melakukan usaha/kegiatan tanpa izin lingkungan yang sah dan relevan.
2. PP No. 22 Tahun 2021 Pasal 26 – Kewajiban penyusunan AMDAL baru jika ada perubahan rencana usaha atau teknologi.
3. Pasal 109 UU No. 32 Tahun 2009 – Ancaman pidana penjara 1–3 tahun dan denda hingga Rp 3 miliar bagi pelaku usaha yang melanggar ketentuan izin lingkungan.
Desakan Publik
GAM menantang PT BKKMS, Pemkab Luwu, DPRD, dan instansi terkait untuk menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) terbuka.
“Kalau mereka berani, buktikan dokumen itu masih sah. Kalau tidak, hentikan proyek dan proses hukum harus berjalan,” tutup Wawan.