SAMBAR.ID, JEPARA – Gubernur Jawa Tengah Ahmad Luthfi meresmikan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Yayasan At-Taqwa, di Desa Karangnongko, Kecamatan Nalumsari, Jepara, Senin (4/8/2025). SPPG ini menjadi program salah satu dapur Makan Bergizi Gratis (MBG) di Jawa Tengah.
Jumlah SPPG di provinsi ini terus mengalami penambahan dari awal program ini dijalankan.
Sebagai informasi, per 29 Juli 2025, terdapat 335 SPPG di Jateng yang telah beroperasi. Keberadaannya telah menyasar sekitar 953.912 penerima manfaat.
Luthfi berharap, dapur MBG yang dikelola Yayasan At-Taqwa ini, berjalan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Sebab, sebelum diresmikan, fasilitas itu telah melalui tahap verifikasi, mulai dari pembangunan, pengecekan oleh tim MBG pusat, hingga siap beroperasi.
“Semoga membawa kemakmuran bagi anak-anak dan masyarakat sekitar,” tutupnya
Luthfi mengatakan, SPPG Makan Bergizi Gratis bukan sekedar soal “dapur ngebul” untuk menyediakan makanan, tapi juga banyak manfaat yang bisa dipetik masyarakat. Mulai dari membiasakan anak-anak makan sehat, memutarnya ekonomi kreatif, pembangunan infrastruktur, modal bergerak, dan menciptakan lapangan kerja.
“Multi efek dari MBG ini adalah kesejahteraan, bukan hanya bagi anak-anak kita, tapi juga sekitar,” ucapnya.
Untuk menggenjot jumlah SPPG, Pemprov Jateng juga telah menyiapkan 26 aset dengan luas total hampir 280.000 meter persegi. Lahan itu dapat dimanfaatkan bersama instansi, seperti Polri dan TNI, untuk mendukung operasional program.
Sebelumnya, Luthfi juga menegaskan komitmennya mengakselerasi realisasi program MBG, dengan mengoptimalkan peran SPPG di seluruh kabupaten/kota.
Permasalahan satuan pelayanan pemenuhan gizi di Jawa Tengah (Jateng) mencerminkan tantangan gizi nasional secara umum, namun juga memiliki ciri khas daerah. Berikut beberapa permasalahan utama yang sering ditemukan:
1. Masih Tingginya Angka Stunting dan Gizi Buruk
Stunting (tubuh pendek akibat kekurangan gizi kronis) masih menjadi masalah serius di beberapa kabupaten/kota, terutama wilayah pedesaan atau terpencil.
Angka stunting di Jateng sempat mendekati 20–25% (data beberapa tahun terakhir), meski ada penurunan.
Gizi buruk akut (wasting) dan gizi kurang juga masih ditemukan pada balita.
2. Terbatasnya Tenaga Gizi dan Fasilitas Kesehatan
Banyak Puskesmas dan Posyandu kekurangan tenaga gizi profesional (ahli gizi).
Sarana untuk pemantauan dan intervensi gizi (alat timbang, antropometri, PMT) kurang memadai di desa-desa.
3. Edukasi dan Perubahan Perilaku Gizi Lambat
Banyak ibu atau keluarga belum memahami pola makan seimbang, ASI eksklusif, dan MP-ASI yang tepat.
Masih marak mitos makanan pada ibu hamil/menyusui dan balita.
4. Masalah Koordinasi dan Data
Data status gizi sering tidak akurat atau tertunda karena kendala pelaporan dari lapangan.
Koordinasi antara Dinas Kesehatan, Dinas Ketahanan Pangan, dan desa belum optimal.
5. Akses terhadap Pangan Bergizi Masih Rendah
Ketimpangan ekonomi menyebabkan sebagian masyarakat tidak mampu membeli makanan bergizi.
Akses pangan lokal yang melimpah belum dimanfaatkan maksimal (contoh: sayur, telur, ikan air tawar).
6. Intervensi Gizi Terlambat
Program intervensi seperti Pemberian Makanan Tambahan (PMT), tablet tambah darah, imunisasi, kadang terlambat atau tidak merata.
7. Ketergantungan Bantuan & Tidak Berkelanjutan
8. Masalah sampah sisa produksi di wilayah SPPG itu jelas ada dan kurang lokasi pembuangan sampah dan atau harus di buatkan pabrik pengolah sampah menjadi bahan yg bermanfaat dg teknologi canggih sekarang itu pasti bisa mengurangi angka pengangguran juga dan pasti masalah lingkungan juga selesai tanpa ada pencemaran lingkungan di sekitarnya.
Program kadang bersifat jangka pendek dan tidak berkelanjutan, terutama jika hanya mengandalkan dana pusat atau hibah.
Wilayah Rawan Gizi di Jateng (contoh kasus)
Beberapa daerah dengan angka stunting cukup tinggi (data bervariasi tergantung tahun):
Kabupaten Brebes
Kabupaten Pemalang
Kabupaten Banjarnegara
Kabupaten Grobogan
Kabupaten Wonosobo
Sumber ; Berbagi sumber [ Jhon ]