LMP Sulsel Bantah Klaim Sekda Makassar Soal Seragam Gratis

Sambar.id, Makassar, Sulsel – Program seragam sekolah gratis yang digembar-gemborkan Pemerintah Kota (Pemkot) Makassar kini berubah menjadi polemik hukum serius. 


Setelah Sekretaris Daerah (Sekda) Makassar Andi Zulkifly menegaskan bahwa program tersebut sah berdasarkan efisiensi anggaran daerah, Laskar Merah Putih (LMP) Sulsel justru membantah keras dan menuding Pemkot telah melakukan pelanggaran hukum yang berpotensi pidana korupsi.


Hal itu, Sekda Zulkifly menyebut dana seragam gratis bersumber dari efisiensi belanja APBD 2025 dengan merujuk sejumlah regulasi: Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025, Surat Edaran (SE) Mendagri Nomor 900/833/SJ, SE Gubernur Sulsel, SE Wali Kota Makassar, serta Permendagri Nomor 77 Tahun 2020. Menurutnya, efisiensi anggaran boleh dialihkan ke tujuh bidang prioritas, salah satunya pendidikan. 


“Dengan alokasi ini, kami berkomitmen meningkatkan layanan pendidikan dan meringankan beban orang tua siswa,” ujar Zulkifly dikutip dari sumber terpercaya (18/9).


Namun Ketua LMP Sulsel, M. Taufik Hidayat, menyebut penjelasan Sekda hanyalah upaya pembenaran yang salah kaprah.


“Inpres bukan dasar hukum untuk membuat alokasi baru di APBD. Seragam gratis tidak ada dalam APBD pokok 2025, dan jelas bukan kebutuhan darurat. Setiap perubahan anggaran wajib melalui persetujuan DPRD. Kalau dipaksakan tanpa mekanisme legislasi, itu pelanggaran hukum,” tegas Taufik (20/9).


LMP menegaskan, berdasarkan PP Nomor 12 Tahun 2019 Pasal 69, penggunaan anggaran darurat hanya boleh untuk bencana, operasi SAR, atau kerusakan sarana vital. “Seragam sekolah gratis tidak termasuk kategori itu,” katanya.


Lebih jauh, Taufik mengungkap fakta krusial: program seragam gratis sudah berjalan sejak 21 Juli 2025, sementara Perubahan APBD 2025 baru ditetapkan pada 5 September 2025.


“Ini fakta hukum. Pemkot menggunakan anggaran tanpa dasar APBD. Itu bukan sekadar kesalahan administratif, tapi bisa masuk pidana khusus: korupsi,” tegasnya.


Hasil penelusuran menunjukkan:

  1. UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara: Pasal 15 mewajibkan perubahan APBD mendapat persetujuan DPRD.
  2. UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah: Pasal 316–319 menegaskan APBD adalah hasil pembahasan bersama DPRD dan kepala daerah.
  3. PP No. 12 Tahun 2019: Pasal 163–167 mengatur perubahan APBD hanya sah setelah persetujuan DPRD.
  4. Permendagri No. 77 Tahun 2020: hanya pedoman teknis, tidak memberi kewenangan membuat program baru.


Dengan demikian, pelaksanaan seragam gratis sebelum perubahan APBD disahkan DPRD merupakan pelanggaran tata kelola keuangan negara.


DPRD Makassar: Tidak Ada Persetujuan


Pernyataan ini sebelumnya diungkapkan pada saat RDP yang digelar DPRD Kota Makassar yang dihadiri pihak terkait  Sejumlah legislator menegaskan bahwa tidak pernah ada persetujuan DPRD terkait pergeseran anggaran Rp 18 miliar tersebut.

Baca Juga: Skandal Seragam Gratis Makassar, Kado Pahit di Hut RI Ke-80!, LMP Sulsel: Negara Jangan Kalah

“Kami tidak pernah memberikan persetujuan. Kalau benar ada pergeseran anggaran tanpa mekanisme formal, itu jelas pelanggaran UU. DPRD tidak boleh dilewati. Ini masalah serius yang harus diusut tuntas,” kata salah satu anggota DPRD Makassar dari Komisi Pendidikan. Kamis  31 Juli 2025 lalu.


Menurut Taufik pelanggaran ini berpotensi masuk ke ranah UU Tipikor. Pasal 3 UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001 menyebut penyalahgunaan wewenang yang merugikan keuangan negara dapat dipidana hingga 20 tahun penjara.


LMP Sulsel mendesak aparat penegak hukum segera bertindak. “Kami akan kawal kasus ini. Jangan sampai jargon seragam gratis dijadikan tameng penyalahgunaan anggaran. Uang rakyat bukan untuk dijadikan eksperimen politik,” tegas Taufik.


Kasus seragam gratis Makassar membuka mata publik bahwa efisiensi anggaran bukan ruang bebas yang bisa dipakai sesuka hati pejabat daerah. Semua harus tunduk pada konstitusi dan regulasi keuangan negara.


Pertanyaannya kini sederhana: apakah aparat penegak hukum berani mengusut dugaan pelanggaran ini, atau justru ikut larut dalam euforia “program populis” yang sesungguhnya cacat hukum? (*)

Lebih baru Lebih lama