Halangi Wartawan Saat Jalankan Tugas Adalah Perbuatan Melanggar Hukum, Dr. Herman: Kalau Bersih, Mengapa Risih?

Sambar.id, Pontianak, Kalbar — Pengamat Hukum dan Kebijakan Publik, Dr. Herman Hofi Munawar, menyoroti maraknya perlakuan tidak pantas terhadap wartawan di berbagai daerah. 


Ia menilai kondisi ini sangat memprihatinkan dan berpotensi mengancam eksistensi kebebasan pers sebagai salah satu pilar utama demokrasi.


“Akhir-akhir ini kita sering disuguhkan pemberitaan tentang perlakuan tidak baik terhadap wartawan, bahkan ada yang mendapatkan ancaman fisik. Ini sangat menyedihkan, sebab kehadiran wartawan merupakan hal yang mutlak dalam negara demokrasi,” ujar Herman, Sabtu (25/10/2025).


Menurutnya, kemerdekaan pers adalah bagian tak terpisahkan dari sistem demokrasi. Karena itu, sinergi antara pemerintah, media, dan masyarakat menjadi hal yang mutlak untuk menciptakan ruang informasi yang bebas, akuntabel, dan kondusif.


“Dalam negara hukum (rechtstaat), transparansi bukan pilihan, melainkan kewajiban moral dan legal. Siapa pun yang menjalankan amanah publik semestinya tidak risih dengan pertanyaan wartawan, sebab keterbukaan adalah cermin integritas pelayanan publik,” jelasnya.


Kalau Bersih, Mengapa Risih?


Dr. Herman menyoroti fenomena sejumlah pejabat publik dan pengusaha yang tampak risih ketika berhadapan dengan wartawan. Padahal, menurutnya, wartawan hanya menjalankan fungsi jurnalistik untuk memperoleh dan menyampaikan informasi kepada publik.


“Kalau bersih, mengapa harus risih dengan wartawan? Kalau risih, berarti tidak bersih,” tegasnya.


Ia menegaskan bahwa wartawan merupakan corong dan pengeras suara publik, yang berperan penting dalam memastikan adanya akuntabilitas dan transparansi. 


Dalam perspektif hukum, sikap risih atau menghindar dari jurnalis justru bisa menjadi indikasi adanya ketidaksesuaian antara idealisme hukum dan praktik kekuasaan di lapangan.


Kebebasan Pers Dilindungi Konstitusi


Dr. Herman menguraikan bahwa hak wartawan untuk mencari dan menyebarluaskan informasi dijamin konstitusi.Pasal 28F UUD 1945 menegaskan:


“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya.”


Perlindungan itu diperkuat oleh: Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang menempatkan pers sebagai lembaga sosial kontrol.


Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), yang menegaskan kewajiban badan publik untuk terbuka kepada masyarakat.


“Pejabat publik yang risih terhadap wartawan justru menimbulkan persepsi negatif di mata publik bahwa ada hal yang ingin ditutupi,” ujarnya.


“Pejabat publik seharusnya menjadi teladan dalam menjunjung tinggi prinsip keterbukaan, bukan justru menghindarinya.”


Menghalangi Wartawan Bisa Dipidana


Lebih jauh, Herman mengingatkan bahwa tindakan menghalangi atau mengintimidasi wartawan memiliki konsekuensi hukum serius. Berdasarkan Pasal 18 ayat (1) UU Pers, disebutkan: 


“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan kegiatan jurnalistik, dipidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp500 juta.”


 “Ketika pejabat atau pengusaha risih dan menghalangi tugas wartawan, itu berpotensi melanggar hukum. Ini bentuk kegagalan dalam mematuhi prinsip keterbukaan dan akuntabilitas publik,” tegas Herman.


Ia menutup dengan imbauan agar semua pihak menghormati kerja jurnalistik sebagai bagian dari kontrol sosial dan penguatan demokrasi.


“Transparansi dan kebebasan pers bukan ancaman, tetapi fondasi agar tata kelola pemerintahan dan dunia usaha berjalan jujur dan bersih,” pungkasnya.


Sumber: Dr. Herman Hofi Munawar

Editor: Dzeol sb


Lebih baru Lebih lama