Status Quo dan Lahan Tanpa HGU, Kesalahan Logika Hukum Yang Sering Disengaja



Sambar.id, Ketapang || Belakangan ini, istilah status quo sering digunakan secara keliru dalam persoalan lahan perkebunan yang belum memiliki sertifikat Hak Guna Usaha (HGU).


Padahal, secara hukum, status quo bukanlah status kepemilikan tanah, melainkan keadaan sementara yang hanya dapat ditetapkan oleh pengadilan untuk menjaga agar situasi di lapangan tidak berubah selama proses hukum berlangsung.


Anehnya, istilah ini justru dipakai oleh pihak perusahaan untuk melindungi penguasaan ilegal mereka atas tanah masyarakat. Mereka beralasan, karena sudah memiliki izin lokasi dan izin usaha perkebunan (IUP), maka lahan yang belum ber-HGU dianggap sudah menjadi milik perusahaan.


Bahkan, ketika masyarakat adat atau pemilik asal ingin mengambil kembali lahannya yang telah ditanami tanpa dasar hukum, perusahaan dengan mudah berkata: “Kalau tidak terima, kita selesaikan di pengadilan.”


Padahal, secara hukum agraria, izin lokasi dan izin usaha perkebunan bukan bukti kepemilikan tanah.

Kedua izin itu hanyalah izin administratif awal, bukan alas hak atas tanah. Izin lokasi hanya memberi kesempatan untuk memperoleh tanah, bukan menjadikannya milik perusahaan. Sedangkan hak kepemilikan atau hak guna baru sah setelah diterbitkannya sertifikat HGU oleh BPN.


Dengan demikian, jika perusahaan belum memiliki HGU, maka tidak ada dasar hukum bagi mereka untuk menanam, menguasai, atau mengklaim lahan tersebut.


Tindakan seperti itu bisa dikategorikan sebagai penguasaan tanah tanpa hak, sebagaimana diatur dalam Pasal 16 dan 28 UUPA No. 5 Tahun 1960.

Dorongan perusahaan agar perkara semacam ini dibawa ke pengadilan hanyalah cara untuk mengulur waktu dan mengaburkan substansi hukum. Karena sejatinya, lahan tanpa HGU tidak perlu diselesaikan di pengadilan, sebab hukum sudah sangat jelas, "Tanah tanpa alas hak bukan milik perusahaan, melainkan hak masyarakat adat atau pemilik asal yang sah secara hukum dan adat.


Menggunakan istilah status quo atau menggiring masyarakat ke jalur litigasi (pengadilan) hanya memperpanjang penderitaan rakyat dan menutupi fakta bahwa perusahaan telah beroperasi tanpa dasar hukum yang sah.


Sudah saatnya masyarakat dan pemerintah daerah berpihak pada kebenaran konstitusional, tanah tanpa HGU harus dikembalikan kepada pemilik asal, bukan dipertahankan dengan dalih perizinan administratif. Hukum agraria bukan sekadar prosedur, melainkan alat keadilan untuk melindungi hak rakyat atas tanah.


Atin.

Lebih baru Lebih lama