WALK OUT Sinyal Keras! Refly Harun & Civil Society Nilai Komisi Reformasi Polri Tidak Netral, Ada Aroma Konflik Kepentingan


SAMBAR.ID// JAKARTA - Audiensi antara kelompok civil society dan APPI yang dipimpin Refly Harun dengan Komisi Percepatan Reformasi Polri pada Rabu, (19/11/2025) berubah panas sejak menit pertama. 


Pemicu utamanya, Jimly Ashidiqie menolak kehadiran tiga anggota tim Roy Suryo, Rismon Sianipar, dan dr. Tifa dengan alasan status tersangka. Tawaran kompromi agar mereka duduk di belakang tanpa hak bicara justru dianggap sebagai bentuk pembungkaman halus.


Penolakan itu langsung dibalas dengan langkah tegas. Roy CS memilih keluar ruangan, dan keputusan tersebut diikuti oleh Refly Harun serta sebagian peserta lainnya. Aksi walk out itu bukan sekadar solidaritas, tetapi sinyal keras bahwa mereka menilai Komisi bertindak tidak netral. 


Terlebih, kehadiran Otto Hasibuan yang dikenal sebagai kuasa hukum Presiden Joko Widodo dipandang menambah aroma konflik kepentingan dalam forum yang semestinya steril dari kepentingan politik.


Di tengah kisruh ruang audiensi itu, Edy Mulyadi sebenarnya telah membawa masukan tertulis yang ingin ia sampaikan langsung. Dokumen tersebut memuat pengalamannya ketika diproses Bareskrim pada 2022 gara-gara video kritik soal Ibu Kota Nusantara (IKN) di kanal YouTube miliknya. 


Ia ditetapkan tersangka dan langsung ditahan sejak pemeriksaan pertama selama tiga bulan, sebelum akhirnya divonis 7 bulan 15 hari dan dinyatakan bebas karena masa tahanan telah mencukupi.


Dalam catatannya, Edy menyoroti banyak kejanggalan dalam proses tersebut, penetapan tersangka yang dilakukan secepat kilat tanpa pemberitahuan kepada pengacara, ketiadaan koordinasi dengan Dewan Pers meski kontennya adalah karya jurnalistik, dan absennya mekanisme review independen sebelum penahanan.


Menurutnya, semua itu membuka ruang lebar bagi penyalahgunaan kewenangan untuk membungkam kritik terhadap kebijakan publik.


Lewat masukan tertulis yang kini viral di kalangan aktivis, Edy mengajukan empat langkah pembenahan: penegakan wajib MoU Kapolri–Dewan Pers, pembentukan unit review pra-penahanan yang independen, pelatihan tahunan HAM digital bagi aparat, serta transparansi dan sanksi internal bagi penyidik yang melanggar prosedur. 


Ia menegaskan, reformasi Polri tidak harus dimulai dari proyek besar beranggaran raksasa, cukup patuh pada aturan yang sudah ada dan buka pintu pengawasan publik.


Dalam penutupnya, Edy menyampaikan pesan yang menghantam tepat di ulu hati persoalan: Polri hanya akan kembali dihormati jika berhenti melihat kritik sebagai musuh. Selama prosedur masih bisa dibengkokkan dan suara warga dianggap ancaman, demokrasi akan tetap tertatih. Reformasi, kata Edy, bukan soal slogan, melainkan keberanian membenahi rumah sendiri. (IPUL Jatim)

Lebih baru Lebih lama