Sambar.id, Batam — Akar Bumi Indonesia (ABI) menemukan sejumlah aktivitas yang dinilai berpotensi melanggar aturan dan mengancam kualitas air Bendungan Tembesi, Batam. Temuan itu diperoleh setelah ABI melakukan verifikasi lapangan di sekitar kawasan bendungan pada Minggu (7/12/2025).
Dalam verifikasi itu, ABI mendapati aktivitas pematangan lahan di sekitar Daerah Tangkapan Air (DTA) Bendungan Tembesi. ABI juga menemukan papan nama PT Kerabat Budi Mulia di tepi Jalan Trans Barelang, dekat Jembatan Raja Ali Haji, serta aktivitas truk pengangkut material timbunan dan alat berat jenis ekskavator.
Pendiri Akar Bumi Indonesia, Hendrik Hermawan, mempertanyakan kesesuaian aktivitas itu dengan rencana tata ruang dan perizinan yang berlaku. Ia menilai lokasi kegiatan berada di kawasan yang memiliki tingkat sensitivitas ekologis tinggi.
“Kami mempertanyakan apakah aktivitas pematangan lahan itu telah sesuai dengan rencana tata ruang dan apakah perizinannya sudah mempertimbangkan dampak ekologis, mengingat lokasinya berbatasan langsung dengan DTA dan zona inti Bendungan Tembesi,” ujar Hendrik, Senin (15/12/2025).
Berdasarkan penelusuran dokumen, ABI menemukan bahwa PT Kerabat Budi Mulia tercatat memperoleh Izin Prinsip Pemanfaatan Lahan yang diterbitkan Pemerintah Kota Batam pada 28 Januari 2014. Izin itu diperuntukkan bagi pengembangan kegiatan pariwisata di Kelurahan Tembesi, Kecamatan Sagulung.
Namun ABI menerima informasi bahwa perusahaan itu diduga memiliki izin prinsip di lebih dari satu lokasi dalam satu kawasan. Salah satu lokasi seluas sekitar 7,18 hektare berada di dekat Jembatan Raja Ali Haji dan disebut telah lebih dahulu dikembangkan.
Aktivitas di lokasi itu sebelumnya sempat memicu sengketa dan pengawasan sejumlah instansi, termasuk Kementerian Kelautan dan Perikanan, karena diduga memasuki ruang laut dan memiliki persoalan perizinan lingkungan. ABI menduga luasan kegiatan di lapangan melebihi izin yang diberikan.
Sementara itu, lokasi kedua dengan luas sekitar 11 hektare yang kini menjadi perhatian ABI diduga berada langsung di kawasan DTA dan zona inti Bendungan Tembesi. ABI menilai aktivitas di lokasi itu memiliki risiko lebih besar karena berpotensi langsung memengaruhi daya dukung dan kualitas air bendungan.
“Kami menduga pintu masuk Bendungan Tembesi dimundurkan sekitar 350 meter mendekati bibir bendungan agar dua lokasi yang diduga milik PT Kerabat Budi Mulia itu saling terhubung,” kata Hendrik.
ABI juga menemukan bahwa penetapan lokasi atas nama PT Kerabat Budi Mulia telah mengalami tiga kali perubahan sejak pertama kali diterbitkan. Kondisi itu menimbulkan pertanyaan serius terkait konsistensi peruntukan ruang, luasan kegiatan, serta kesesuaian antara dokumen perizinan dan aktivitas di lapangan.
Penetapan lokasi pertama seluas 7,18 hektare tercatat beralamat di Komplek Pasar Bumi Indah, Kecamatan Lubuk Baja. Namun ABI menyebut tidak menemukan keberadaan maupun aktivitas perusahaan di alamat itu, sehingga menimbulkan keraguan terhadap keabsahan data administrasi.
Dalam dokumen izin prinsip, tercantum kewajiban penyusunan dokumen lingkungan, perlindungan saluran air dan ekosistem, pembayaran pajak serta retribusi galian C, dan tanggung jawab penuh atas dampak pemanfaatan ruang.
ABI menilai kejanggalan paling serius muncul karena pada 2014 Bendungan Tembesi telah selesai dibangun dan mulai disterilkan. Dengan kondisi itu, kawasan sekitar bendungan seharusnya difungsikan sebagai wilayah lindung, bukan ruang aktivitas komersial.
“Ini menjadi pertanyaan besar bagi kami. Mengapa izin prinsip pemanfaatan ruang bisa diterbitkan di kawasan yang secara faktual merupakan DTA dan berbatasan langsung dengan zona inti bendungan,” tegas Hendrik.
ABI juga menerima informasi mengenai dugaan tunggakan pajak dan retribusi galian C oleh PT Kerabat Budi Mulia di lokasi pertama. Informasi itu disebut telah menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan. ABI mengaku telah melakukan konfirmasi ke Badan Pendapatan Daerah Kota Batam.
ABI menegaskan bendungan merupakan kawasan dengan fungsi tunggal sebagai penyedia air baku. Batam tidak memiliki sumber air tanah dan sangat bergantung pada bendungan. Bendungan Tembesi sendiri memiliki luas sekitar 840 hektare dan menyuplai sekitar 20 persen kebutuhan air bersih Batam atau sekitar 600 liter per detik.
Saat ini, Batam mengandalkan enam bendungan penampung air hujan. Sekitar 95 persen pasokan air bersih bergantung pada curah hujan, sementara sisanya pada kelestarian kawasan hutan di daerah tangkapan air.
“Jika pembiaran itu terus terjadi, bukan hanya Bendungan Tembesi yang terancam, tetapi seluruh sistem bendungan di Batam. Ini merupakan degradasi sistemik terhadap daya dukung lingkungan,” ujar Hendrik.
Atas temuan itu, ABI menyatakan akan melaporkan persoalan itu ke Kementerian Lingkungan Hidup, mengajukan audiensi dengan BP Batam dan Pemerintah Kota Batam, serta mendorong pencabutan izin prinsip di kawasan DTA dan zona inti bendungan.
ABI juga menemukan adanya aktivitas lain di sekitar kawasan bendungan, mulai dari pertanian, tambak ikan, industri skala kecil, hingga pengambilan pasir. Seluruh aktivitas itu dinilai berpotensi mencemari air baku publik.
“Membiarkan keuntungan ekonomi diperoleh dengan cara merusak sumber air publik adalah bentuk kejahatan lingkungan. Dampaknya mungkin tidak langsung terasa, tetapi risikonya nyata,” kata Hendrik.
ABI mendesak pemerintah segera bertindak tegas dan membentuk satuan tugas lintas sektor untuk menghentikan aktivitas ilegal, mengaudit dampak lingkungan dan tata ruang, serta memastikan Bendungan Tembesi tetap terlindungi sebagai sumber air baku utama masyarakat Batam.(Gh)






.jpg)
