SAMBAR.ID // MALANG – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Mukti Pajajaran mendesak Kapolres Malang untuk segera menindaklanjuti laporan dugaan praktik rentenir dan pemerasan yang dinilai merugikan warga Desa Kalipare, Kecamatan Kalipare, Kabupaten Malang. Desakan ini didasarkan pada laporan resmi LBH Mukti Pajajaran yang telah disampaikan sejak akhir November 2025. Senin ( 15/12/2025)
Dalam surat pengaduan bernomor 960.01/DPD/PSR/JTM/MP/XI/2025 tertanggal 24 November 2025, LBH Mukti Pajajaran secara resmi melaporkan dugaan tindak pidana pemerasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 368 KUHP. Laporan tersebut diajukan kepada Kapolres Malang atas nama klien berinisial WNR warga Desa Kalipare, Kecamatan Kalipare, Kabupaten Malang.
Terlapor dalam perkara ini adalah seorang perempuan berinisial LVP yang diduga menjalankan praktik pinjaman berbunga tinggi menyerupai rentenir. Berdasarkan dokumen pengaduan LBH Mukti Pajajaran, hubungan antara WNR dan LVP berlangsung sejak sekitar Juli 2024 hingga Agustus 2025.
Selama periode tersebut, WNR tercatat menerima dana pinjaman dengan total sekitar Rp11,2 miliar. Namun demikian, klien LBH Mukti Pajajaran disebut telah melakukan pembayaran dengan total mencapai sekitar Rp12,7 miliar, sehingga terdapat kelebihan pembayaran atau selisih lebih bayar sekitar Rp1,5 miliar.
Meski pembayaran telah melebihi jumlah pokok, penagihan tidak berhenti. Terlapor justru disebut masih menuntut tambahan pembayaran dengan nilai yang diklaim mencapai sekitar Rp3 miliar. LBH Mukti Pajajaran juga mencatat bahwa bunga pinjaman yang dikenakan mencapai kisaran 30 hingga 40 persen, angka yang dinilai sangat tinggi dan memberatkan.
Ketua DPD LBH Mukti Pajajaran Jawa Timur, Andreas Wuisan, S.E., S.H., menegaskan bahwa pola tersebut tidak lagi dapat dipandang sebagai hubungan perdata biasa. Menurutnya, terdapat indikasi kuat tekanan dan pemaksaan yang berpotensi memenuhi unsur tindak pidana pemerasan.
"Ini bukan sekadar persoalan utang-piutang. Klien kami telah membayar melebihi kewajiban pokok, namun masih terus ditagih dengan angka yang tidak masuk akal. Jika dibiarkan, praktik seperti ini sangat berbahaya bagi masyarakat," ujar Andreas.
LBH Mukti Pajajaran juga menyoroti dugaan keberanian terlapor dalam menetapkan bunga tinggi dan melakukan penagihan berlebihan karena adanya hubungan keluarga dengan anggota kepolisian. Kondisi ini, menurut LBH, berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan harus diuji secara terbuka melalui proses hukum yang profesional dan transparan.
"Kami meminta Kapolres Malang memberikan atensi khusus dan memastikan penanganan perkara ini berjalan objektif. Penegakan hukum harus berdiri di atas fakta, bukan relasi," tegas Andreas.
LBH Mukti Pajajaran mengingatkan bahwa penanganan yang terbuka dan profesional justru penting untuk menjaga kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian. Menurut LBH, hukum tidak boleh tumpul ke atas dan tajam ke bawah, serta tidak boleh 'berbunga' seperti praktik rentenir.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari pihak terlapor maupun dari pihak kepolisian terkait perkembangan penanganan laporan tersebut. LBH Mukti Pajajaran berharap aparat penegak hukum segera mengambil langkah konkret guna memberikan kepastian hukum dan rasa keadilan bagi masyarakat. (Ilmia)







.jpg)
