Ketika Negara Kalah oleh Mafia Timah: Desakan Evaluasi Kepolisian Bukan Isapan Jempol


Oleh : Rikky Fermana,S.IP.,C.Med, C.Par, C.NG, C.IJ, C.PW


SAMBAR.ID, Opini, Jakarta - Desakan Ketua Umum BPI KPNPA RI, Tubagus Rahmad Sukendar, agar Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mundur dari jabatannya bukanlah seruan kosong tanpa dasar. Pernyataannya menggambarkan situasi yang krusial dan mengancam kedaulatan negara di sektor pertambangan strategis. 


Fakta bahwa penyelundupan timah ilegal masih terjadi secara terang-terangan dari Pulau Belitung ke Bangka menunjukkan bahwa penegakan hukum kita sedang dalam kondisi lumpuh atau malah terkooptasi oleh kekuatan gelap—mafia tambang.


Dalam sistem negara hukum, aparat penegak hukum—terutama kepolisian—memegang tanggung jawab krusial. Namun ketika praktik ilegal justru berlangsung setiap hari, melibatkan rute pelabuhan resmi, dan tak satu pun dari pihak-pihak terkait memberikan tanggapan, maka wajar jika publik mempertanyakan kredibilitas serta integritas institusi Polri saat ini.


Apalagi, industri timah bukan sekadar komoditas biasa. Timah adalah salah satu sumber daya strategis nasional, yang seharusnya dikelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana amanat Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945. Namun, dalam praktiknya, sumber daya ini justru menjadi bancakan segelintir elit dan jaringan mafia tambang.


*Potret Gagalnya Penegakan Hukum*


Salah satu aspek yang menjadi sorotan adalah indikasi pembiaran sistematis oleh aparat. Ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, khususnya Pasal 13 yang menyebutkan bahwa tugas pokok Polri adalah:

1. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;

2. Menegakkan hukum;

3. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.


Bagaimana mungkin Polri bisa dianggap menjalankan fungsi ini bila aktivitas penyelundupan timah terus terjadi tanpa hambatan? Bahkan laporan terbaru menyebut bahwa truk-truk pengangkut timah ilegal bisa masuk ke kawasan industri Jelitik dan smelter PT MSP, yang disebut-sebut terhubung dengan jejaring bisnis orang-orang berkuasa.


Ini jelas pelanggaran terhadap UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), khususnya Pasal 161 yang menyatakan:


"Setiap orang yang melakukan pengangkutan dan/atau penjualan mineral dan/atau batubara yang tidak berasal dari pemegang IUP, IUPK, SIPB, atau izin lainnya yang sah, dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah)."


Lalu mengapa penegakan pasal ini nyaris tak terdengar?


Dampak Nyata: Lingkungan Rusak, Negara Rugi


Aktivitas tambang liar bukan hanya melanggar hukum, tapi juga berdampak langsung pada kerusakan lingkungan yang masif di Bangka Belitung. Lubang-lubang tambang yang dibiarkan menganga, kawasan hutan yang gundul, hingga rusaknya daerah aliran sungai (DAS) menunjukkan betapa tidak adanya pengawasan serius dari pemerintah dan aparat penegak hukum.


Belum lagi soal kerugian ekonomi negara. Dengan royalti timah yang kini meningkat hingga 3%, setiap kilogram timah ilegal yang lolos dari sistem berarti kebocoran penerimaan negara dan daerah. Ini menghambat pembangunan, melemahkan ekonomi lokal, dan memperkuat dominasi oligarki tambang.


Tak heran jika publik menyebut bahwa negara ini kalah dari preman. Sebab, bukti-bukti praktik ilegal sudah kasatmata, namun aparat penegak hukum memilih diam—atau terlibat.


*Presiden Tak Boleh Tinggal Diam*


Seruan Rahmad Sukendar agar Presiden Prabowo mengevaluasi Kapolri tidak bisa dianggap sebagai politisasi. Sebaliknya, itu bentuk tanggung jawab warga negara yang menuntut keadilan dan supremasi hukum ditegakkan. Presiden adalah pemegang kendali tertinggi kekuasaan eksekutif, dan Kapolri adalah bawahannya. Bila Kapolri gagal menegakkan hukum, maka Presiden wajib mengevaluasi, bahkan menggantinya.


Dalam kerangka Pasal 4 ayat (1) UUD 1945, Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Ini berarti, Presiden memiliki otoritas untuk bertindak terhadap pembantunya yang tidak menjalankan tugas secara optimal. Jika negara hendak mengembalikan kedaulatan sektor pertambangan kepada rakyat, maka pembersihan harus dimulai dari atas.


Lebih dari itu, perlu pembentukan Tim Independen Pemberantasan Mafia Tambang yang langsung bertanggung jawab kepada Presiden. Tim ini harus melibatkan KPK, BPK, aktivis lingkungan, dan lembaga masyarakat sipil lainnya yang tak terkooptasi.



*Keadilan Bagi Siapa?


Situasi ini juga menunjukkan wajah ketidakadilan hukum di negeri ini. Ketika masyarakat kecil dikejar karena menambang tanpa izin untuk sekadar bertahan hidup, justru para cukong tambang dan pemilik modal besar bisa bebas bergerak dengan perlindungan aparat. Ini ironi besar bagi negara yang mengklaim menjunjung tinggi prinsip equality before the law atau kesetaraan di hadapan hukum.


Jika negara terus membiarkan, maka bukan mustahil kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum akan runtuh total. Sebab hukum hanya tajam ke bawah, tumpul ke atas.



*Jangan Tunggu Negara Runtuh*


Apa yang terjadi di sektor pertambangan timah saat ini bukan hanya bentuk pelanggaran hukum, tapi juga ancaman terhadap kedaulatan negara. Jika aparat kepolisian, pemerintah daerah, hingga pusat tidak segera bertindak, maka mafia akan terus menggerogoti tubuh negara dari dalam.


Pernyataan Rahmad Sukendar seharusnya menjadi alarm terakhir. Negara tak boleh kalah oleh preman. Evaluasi total harus segera dilakukan. Bila perlu, revolusi mental aparat dimulai dari pucuk kepemimpinan: ganti yang tak becus, beri mandat pada yang berani. 


Hukum harus ditegakkan, meski langit runtuh. (Redaksi)

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Penulis : Rikky Fermana,S.IP.,C.Med, C.Par, C.NG, C.IJ, C.PW (Penanggungjawab KBO Babel, Ketua DPD Pro Jurnalismedia Siber/PJS Babel, Ketua DPW IMO Indonesia dan Kontributor Berita Nasional)


Tulisan opini menanggapi portal pemberitaan https://www.buletinexpres.com/mafia-timah-merajalela-rahmad-sukendar-desak-kapolri-mundur-negara-kalah-dari-preman/


Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan atau keberatan dalam penyajian artikel, opini atau pun pemberitaan tersebut diatas, Anda dapat mengirimkan artikel dan atau berita berisi sanggahan atau koreksi kepada redaksi media kami, sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat (11) dan ayat (12) undang-undang No 40 tahun 1999 tentang Pers.



Lebih baru Lebih lama