Sambar.id, Oku, Sumsel — Rapat Paripurna ke-LIII (53) DPRD Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), yang dijadwalkan sebagai forum krusial penetapan APBD Tahun Anggaran 2026, berubah menjadi potret buram kedisiplinan legislatif.
Sidang yang seharusnya dimulai pukul 20.00 WIB, Kamis (12/12/2024), hingga pukul 23.29 WIB tak kunjung bisa dibuka. Bukan karena kendala teknis, melainkan karena alasan paling mendasar: rapat tidak kuorum.
Hingga lebih dari tiga jam waktu berjalan, baru 19 anggota dewan yang hadir. Padahal Tata Tertib DPRD—yang mengacu pada PP 12 Tahun 2018—mensyaratkan minimal 20 anggota (2/3 dari jumlah anggota DPRD OKU) untuk membuka paripurna. Satu kursi kosong saja sudah cukup menghentikan jalannya pemerintahan daerah satu malam penuh.
Ironi menyakitkan: satu anggota absen, satu kabupaten tertahan
Regulasi Jelas, Kewajiban Kehadiran Tidak Bisa Ditawar
Ketidakhadiran anggota DPRD dalam rapat sebesar penetapan APBD bukanlah hal sepele. Regulasi mengatur kewajiban mereka secara tegas:
- UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah -- Pasal 310–312 menegaskan bahwa: APBD dibahas dan disetujui bersama antara kepala daerah dan DPRD. DPRD wajib menjalankan fungsi anggaran secara aktif.
- UU Nomor 17 Tahun 2014 (UU MD3) --,Mengatur bahwa anggota DPRD memiliki kewajiban: wajib hadir dalam rapat Paripurna dan alat kelengkapan dewan, mematuhi kode etik, mengutamakan kepentingan rakyat.
- Ketidakhadiran tanpa alasan sah dapat dikenai sanksi etik, mulai dari teguran hingga rekomendasi PAW bila pelanggaran dianggap berat atau berulang.
- PP Nomor 12 Tahun 2018 tentang Pedoman Tata Tertib DPRD -- Kuorum rapat Paripurna wajib 2/3 jumlah anggota. Ketidakhadiran dalam rapat strategis termasuk bentuk pelanggaran disiplin kedewanan.
- Tatib DPRD OKU -- Mengatur kewajiban setiap anggota: Hadir dalam rapat resmi, Menjaga kehormatan lembaga, Mendahulukan kepentingan daerah di atas kepentingan pribadi/kelompok.
Dengan regulasi sejelas ini, absensi berulang adalah bentuk nyata pengabaian amanah konstitusi.
Tupoksi DPRD yang Justru Tidak Dijalankan
Sebagai wakil rakyat, DPRD memegang tiga fungsi utama yang sangat berat:
- Fungsi Legislasi -- Membentuk dan menyetujui Perda, Menjawab kebutuhan hukum dan kebijakan daerah.
- Fungsi Anggaran -- Membahas hingga menetapkan APBD, Mengawasi penggunaan anggaran agar efektif dan berpihak pada rakyat.
- Fungsi Pengawasan -- Mengawasi kinerja pemerintah daerah, Mencegah penyimpangan dan memastikan program publik berjalan sesuai aturan.
Tugas-tugas tersebut tidak mungkin dijalankan jika fungsi paling sederhana saja—hadir dalam rapat—gagal dilakukan.
APBD Bukan Dokumen Seremonial — Ini Nyawa Pelayanan Publik
APBD menentukan:
- apakah jalan diperbaiki,
- apakah puskesmas punya obat,
- apakah guru menerima haknya,
- apakah program pembangunan berjalan.
Ketika rapat APBD tertunda hanya karena absensi anggota dewan, maka: yang tertunda bukan hanya sidang, tetapi pelayanan publik satu kabupaten.
Pimpinan daerah menunggu di podium. Undangan duduk berjam-jam. Masyarakat menanti kepastian anggaran. Namun, sebagian wakil rakyat justru tidak hadir tepat waktu.
Bagaimana publik dapat percaya pada kualitas kebijakan, regulasi, dan pengawasan jika rapat paling krusial pun tidak dapat dimulai?
Cermin Buruk Disiplin Legislatif
Rakyat datang bekerja tepat waktu.
Rakyat membayar pajak tanpa menunda.
Sudah sepantasnya wakil rakyat menunjukkan standar kedisiplinan yang sama—bukan sebaliknya.
Ketidakhadiran satu anggota saja pada malam itu telah menciptakan preseden buruk dan mempertebal pertanyaan publik:
- Apakah wakil rakyat memahami arti “wakil rakyat”?
- Apakah jabatan mereka sekadar simbol politik, atau amanah konstitusional yang harus dijaga dengan integritas?
Rapat Ditunda ke Besok Pagi
Hingga pukul 23.29 WIB, kuorum tidak terpenuhi. Pimpinan rapat akhirnya menunda Paripurna APBD Tahun Anggaran 2026 hingga: Sabtu, 13 Desember 2024 pukul 10.00 WIB. Kepercayaan publik ikut terkikis bersama tertundanya sidang tersebut.
(*/Amel)











.jpg)
