Oleh : Arifudin - Mahasiswa S3 Unitomo Surabaya
Mutasi dan promosi dalam birokrasi seringkali dibalut dengan narasi “meritokrasi”—sebuah sistem yang menempatkan individu berdasarkan prestasi dan kompetensi. Dalam kasus Ikbal Dinda, narasi tersebut kembali digaungkan. Namun, pertanyaannya: benarkah mutasi ini murni berbasis meritokrasi, atau hanya jargon untuk membungkus keputusan yang sarat kepentingan?
Kritik terhadap sistem meritokrasi di Indonesia seringkali berakar dari lemahnya transparansi dan objektivitas dalam proses seleksi jabatan. Jika benar Ikbal Dinda diangkat karena prestasi, publik berhak tahu: apa indikator keberhasilan yang diacu? Apakah ada proses seleksi terbuka dan adil? Ataukah ini sekadar mutasi elitis yang dikemas seolah-olah progresif?
Kekhawatiran ini bukan tanpa dasar. Dalam banyak kasus, meritokrasi kerap hanya menjadi legitimasi politik, bukan proses nyata. Tanpa mekanisme evaluasi yang akuntabel, meritokrasi berubah menjadi mitos. Kepemimpinan yang lahir dari proses yang tidak jelas akan sulit menghasilkan kepercayaan publik dan efektivitas birokrasi.
Harapan tetap ada. Jika Ikbal Dinda memang memiliki kapasitas, biarkan publik menilai melalui kinerjanya secara terbuka. Tetapi bila meritokrasi hanya dijadikan tameng untuk meloloskan orang-orang tertentu, maka sistem ini tidak lebih dari ilusi kemajuan yang menyesatkan.
NTB dan Indonesia butuh perubahan nyata, bukan sekadar slogan. Dan itu hanya bisa dicapai jika meritokrasi dijalankan dengan integritas, bukan hanya diklaim.