Mumuh mempertanyakan prosedur penggeledahan yang dinilai telah mengganggu aktivitas pemerintahan desa dan melanggar hukum. (Selasa 06/05/2025)
Pernyataan Mumuh diperkuat oleh imbauan Jaksa Agung ST Burhanuddin yang meminta jajarannya untuk tidak sembarangan mengusik kepala desa dalam penanganan kasus korupsi.
Terkait pengaduan Selengkap baca: Merasa Dijadikan Objek Pemeriksaan "DIUSILIN" Pemdes Haurkuning Minta Perlindungan Hukum di Kejagung RI
Penggeledahan yang dilakukan Kejari Sumedang mengakibatkan terganggunya pelayanan publik dan aktivitas pemerintahan desa. Sejumlah dokumen penting disita, namun hingga kini belum dikembalikan dan tidak disertai berita acara penyitaan resmi.
"Kegiatan pemerintahan terganggu, dokumen penting belum dikembalikan. Tanggung jawab siapa ini?" tanya Mumuh.
Mumuh menegaskan bahwa dirinya dan staf desa telah menjalankan tugas sesuai prosedur, terkait hal-hal seperti BPJS dan penyaluran bantuan tunai dari dana desa. "Saya ingin dibina, bukan dibinasakan. Saya merasa tidak ada masalah karena semua sudah sesuai prosedur," ujarnya.
Terkait Selengkapnya: Pasca Kejaksaan Sumedang Geledah Kantor Desa Haurkuning, Kegiatan Tidak Normal Tanggung Jawab Siapa
Kekhawatiran Mumuh atas prosedur penggeledahan yang dinilai tidak sah diperkuat oleh pernyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin dalam Rakornas beberapa waktu lalu yang diviralkan melalui akun TikTok @Militan pada Minggu (19/5/2024). Jaksa Agung dengan tegas menyatakan:
"Apabila ada laporan tentang terjadinya dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Kepala Desa, renungkan dahulu oleh kalian. Kepala Desa itu adalah seorang swasta bahkan di kampung yang tidak ngerti aturan bagaimana keuangan pemerintah. Terus kemudian jadikan objek pemeriksaan. Tolong jangan lakukan itu, saya akan membuat aturannya," tegasnya.
Pernyataan Jaksa Agung ini menjadi landasan kuat bagi Mumuh untuk mempertanyakan tindakan Kejari Sumedang.
Selengkapnya Baca: Kejaksaan Negeri Sumedang Diduga Langgar Prosedur Penggeledahan di Desa Haurkuning
Pratisi hukum menilai tindakan Kejari Sumedang yang mematikan CCTV sebelum penggeledahan, menyita dokumen dan barang elektronik tanpa berita acara, serta menyita HP staf desa Haurkuning, telah melanggar beberapa pasal dalam KUHAP dan UU Tipikor.
Devisi Investigasi DPP BAIN HAM RI, Syamsul pertanyakan tindakan Kejari Sumedang yang mematikan CCTV sebelum penggeledahan, menyita dokumen dan barang elektronik tanpa berita acara, serta menyita HP staf desa Haurkuning, telah melanggar beberapa pasal dalam KUHAP dan UU Tipikor.
"Tindakan semena-mena yang dilakukan Kejaksaan Sumedang diduga kuat melakukan sejumlah pelanggaran prosedur dalam penggeledahan dan penyitaan di kantor Desa Haurkuning, sebab sebagai penegak hukum yang memiliki citra dalam penegakan hukum yang terbaik di Indonesia adalah kejaksaan namun di Kejaksaan Negeri Sumedang terkesan tidak memberikan dampak positif justru mempertontonkan hal-hal negatif, yang tidak bisa diambil acuan atau panutan," ucapnya.
Baca Juga: Merasa Tidak Mendapatkan Rasa Keadilan, Ibu Bhayangkari Asal Takalar Kirim Surat Kejagung RI dan KKRI
Dengan berbagai upaya yang dilakukan kepala desa haur kuning, permohonan perlindungan hukum kepada kejaksaan agung RI, ya akan melakukan kembali permohonan perlindungan hukum kepada Komisi Kejaksaan republik Indonesia lembaga perlindungan saksi dan korban Ombudsman DPR RI ke Komisi 3 permohonannya di DPRD Sumedang untuk melakukan rapat dengan pendapat terkesan diabaikan.
"Selain permohonan perlindungan hukum kepada kejaksaan agung RI, saya atas nama Bain Ham RI bersama kepala desa haur kuning, akan melakukan kembali permohonan rapat pendapat kepada DPR RI tepatnya di komisi 3 sekaligus mengadukan kinerja Dewan Perwakilan Daerah Kabupaten Sumedang di Badan Kehormatan DPR sekaligus minta hukum kepada lembaga saksi dan korban ke Komisi Kejaksaan RI dan Ombudsman RI, sebagaimana yang diatur undang-undang yang berlaku di Indonesia," bebernya.
- Mematikan CCTV sebelum Penggeledahan: Hal ini menimbulkan kecurigaan bahwa Kejari Sumedang sengaja menyembunyikan proses penggeledahan dari pengawasan publik.
- Penyitaan Dokumen dan Barang Elektronik Tanpa Berita Acara: Ketiadaan berita acara dalam proses penyitaan dapat menimbulkan keraguan atas legalitas dan transparansi tindakan Kejari Sumedang.
- Penyitaan HP Staf Desa: Penyitaan HP staf desa tanpa dasar hukum yang jelas dapat melanggar hak privasi dan hak akses informasi.
Dampak Potensial dari Pelanggaran Prosedur
- Kehilangan Bukti: Mematikan CCTV sebelum penggeledahan dapat menghilangkan bukti visual yang penting untuk mengungkap dugaan tindak pidana.
- Ketidakjelasan Alasan Penyitaan: Ketiadaan berita acara penyitaan membuat proses penyitaan menjadi tidak transparan dan dapat menimbulkan kecurigaan.
- Pelanggaran Hak Asasi: Penyitaan HP staf desa tanpa dasar hukum yang jelas dapat melanggar hak privasi dan hak akses informasi.
Pentingnya Transparansi dan Akuntabilitas
Kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum memiliki kewajiban untuk bertindak secara profesional, transparan, dan akuntabel. Pelanggaran prosedur dalam penggeledahan dan penyitaan dapat menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum.
Kejari Sumedang diduga melanggar beberapa UU dalam tindakan mereka, yaitu:
1. KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana)
- Pasal 32: Aturan tentang penggeledahan. Kejari Sumedang diduga melanggar pasal ini dengan mematikan CCTV sebelum penggeledahan, yang bisa diartikan sebagai upaya menghalangi proses hukum.
- Pasal 41: Aturan tentang penyitaan. Kejari Sumedang diduga melanggar pasal ini dengan menyita dokumen dan barang elektronik tanpa surat perintah penyitaan.
- Pasal 42: Aturan tentang berita acara penyitaan. Kejari Sumedang diduga melanggar pasal ini dengan tidak membuat berita acara penyitaan untuk dokumen dan barang elektronik yang disita.
2. UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
- Pasal 21 ayat (1): Aturan tentang penyalahgunaan wewenang. Tindakan Kejari Sumedang yang tidak sesuai prosedur bisa diartikan sebagai penyalahgunaan wewenang.
- Pasal 22: Aturan tentang penghilangan barang bukti. Mematikan CCTV dan menyita barang bukti tanpa prosedur yang tepat bisa diartikan sebagai upaya penghilangan barang bukti.
Sanksi pelanggaran UU yang dilakukan Kejari Sumedang bisa berupa:
1. Sanksi Pidana
UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi:
- Pasal 21 ayat (1): Penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.
- Pasal 22: Penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.
KUHAP:
- Pasal 21 ayat (1): Penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.
- Pasal 22: Penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.
2. Sanksi Administratif
- Pemecatan dari jabatan sebagai jaksa.
- Penurunan pangkat.
- Skorsing.
3. Sanksi Etika
- Peringatan tertulis.
- Penghentian sementara dari tugas.
- Penghentian permanen dari kejaksaan.
Hingga hingga berita ini terbitkan surat pengaduan yang telah dilayangkan kepada kejaksaan agung masih berproses dan berita ini diterbitkan pihak terkait sementara diusahakan dikonfirmasi (*)
Bersambung...