Sambar.id, Gorontalo || Angin di bulan Januari malam itu tidak biasa. Di Gorontalo, langit tak berbintang seperti menahan napas. Di bawah sebuah pohon Sawo Manila yang rimbun di dekat lapangan Suwawa, dua belas orang pria berkumpul dengan wajah penuh semangat dan waspada. Mereka adalah Komite 12, wakil rakyat Gorontalo dari berbagai kalangan—guru, ulama, pemuda, dan bangsawan. Di tengah lingkaran, berdiri sosok muda dengan mata menyala: Nani Wartabone.
“Belanda tak lama lagi akan lari. Tapi jika mereka gunakan taktik verschroeide aàrde (bumi hangus), maka kita hadapi dengan perlawanan penuh ..!!” katanya lantang.pada keesokan harinya Senin, 19 Januari 1942 Nani Wartabone mendatangani Asisten Residen dan mengancam agar tidak melakukan "Verschroeide Aarde"
Pohon Sawo Manila itu menjadi saksi bisu ketika mereka menyusun rencana pengambilalihan kekuasaan, pembentukan pemerintahan lokal, dan persiapan untuk hari yang besar: Proklamasi Kemerdekaan Gorontalo.
- 23 Januari 1942: Hari Kemerdekaan Gorontalo
Pagi itu, para pemuda bergabung dengan pasukan Pendang Kalengkongan dan Ardani Ali bergerak cepat. Pejabat dan warga Belanda ditangkap satu per satu, tanpa pertumpahan darah. Asrama militer, kantor pos, dan pusat komunikasi berhasil diamankan.
Di tengah lapangan terbuka depan kantor Pos rakyat berkumpul. Di hadapan mereka, Nani Wartabone berdiri dengan kepala tegak. Suaranya menggema ke penjuru kampung:
“.. Pada hari ini, tanggal 23 Januari 1942, kita Bangsa Indonesia yang berada disini sudah merdeka, bebas, lepas dari penjajahan bangsa manapun juga.
Bendera kita adalah merah putih, lagu kebangsaan kita adalah Indonesia Raya.Pemerintah Belanda telah diambil alih oleh Pemerintah Nasional .."
Sorak rakyat meledak. Anak-anak berlarian. Para ibu meneteskan air mata. Di tanah yang jauh dari pusat kekuasaan Batavia, sebuah bangsa bangkit dari akar rumputnya sendiri.
Di tengah keraguan, para Wedana dan Jogugu—elit birokrasi tradisional Gorontalo—dipanggil.
Mereka mendengar langsung dari Komite 12 mengenai rencana mendirikan Pemerintahan Rakyat Gorontalo, di mana para Jogugu akan duduk bersama rakyat dalam “Pucuk Pimpinan Pemerintahan Gorontalo”.
Sebagian ragu, tapi semuanya berubah menjadi sebuah keyakinan tatkala Ayuba Wartabone (jogugu Suwawa) menyatakan mendukung gerakan Adik Kandungnya itu, kharisma Nani meluluhkan mereka.
Akhir yang Baru peristiwa ini bukan hanya sebuah pengambilalihan administratif.
Ia adalah proklamasi lokal pertama di Nusantara yang dilakukan dengan sadar dan terorganisir oleh rakyat, tanpa perintah pusat, bahkan sebelum Jepang benar-benar masuk ke Gorontalo.
Dan semua itu bermula dari sebuah pertemuan sunyi di bawah pohon Sawo Manila ...
Bersama Ronny Kaluku
( syarief 01 )