Oleh: Adi Prianto, S.H., M.H.(Wasekjen DPP PRIMA)
SAMBAR.ID, Opini - Keputusan Presiden Prabowo Subianto memberikan amnesti dan abolisi kepada Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto sontak menjadi perbincangan hangat di ruang publik. Selain memantik perdebatan konstitusional, langkah ini juga membuka kembali diskursus panjang tentang sejarah dan fungsi amnesti serta abolisi dalam dinamika politik dan hukum Indonesia.
Jika merujuk Pasal 14 UUD 1945 dan Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954, amnesti dan abolisi merupakan hak prerogatif Presiden. Meski demikian, keputusan semacam ini tidak lepas dari penilaian publik serta tafsir akademik, seperti yang dilontarkan pengamat hukum Bivitri Susanti melalui Liputan6.com edisi 1 Agustus 2025, yang mempertanyakan urgensi dan landasan moral-politiknya.
Namun, perlu dicatat bahwa dalam sejarah bangsa, amnesti dan abolisi sudah beberapa kali digunakan sebagai instrumen rekonsiliasi nasional. Berikut adalah tiga preseden penting yang mencerminkan hal tersebut :
1. Permesta dan Keputusan Presiden Soekarno (1961)
Pada masa Presiden Soekarno, Keppres No. 322 Tahun 1961 dikeluarkan untuk memberikan amnesti dan abolisi kepada pengikut gerakan Permesta, termasuk tokoh-tokohnya seperti Kawilarang, Laurens Saerang, dan Somba. Permesta yang berdiri pada 15 Februari 1958 dan dipimpin Ahmad Husen di Padang merupakan gerakan separatis yang mendirikan pemerintahan tandingan. Melalui Keppres tersebut, Soekarno mengambil langkah besar dalam merangkul kembali anak bangsa yang sempat berseberangan demi persatuan nasional.
2. Pemberian Amnesti kepada Aktivis PRD (1999)
Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pada 10 Desember 1999 menandatangani Keppres No. 160 Tahun 1999 yang memberikan amnesti kepada Petrus Hari Hariyanto, Sekjen PRD. Partai ini dikenal vokal menentang rezim Orde Baru. Bersama tokoh-tokoh lain seperti Budiman Sudjatmiko dan Andi Arief, Petrus dituduh menghasut kerusuhan 27 Juli 1996. Gus Dur dengan langkah ini menunjukkan keberpihakan terhadap demokrasi dan keadilan pasca-reformasi.
3. Amnesti untuk Gerakan Aceh Merdeka (2005)
Dalam semangat perdamaian, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Keppres No. 22 Tahun 2005 yang memberikan amnesti dan abolisi kepada seluruh anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM), baik di dalam maupun luar negeri. Langkah ini menandai titik balik menuju perdamaian Aceh setelah konflik berkepanjangan. Tidak hanya menyasar mereka yang aktif dalam konflik, Keppres ini juga mencakup yang telah menjalani hukuman.
Refleksi atas Langkah Presiden Prabowo
Pemberian amnesti dan abolisi kepada Tom Lembong dan Hasto Krisyanto sejatinya tidak dapat dilepaskan dari konteks politik dan rekonsiliasi nasional. Dalam sejarahnya, kebijakan semacam ini tidak hanya berfungsi sebagai instrumen hukum, tapi juga sebagai simbol politik untuk meredam konflik, memulihkan relasi antar elit, dan membangun kohesi sosial.
Mereka yang memandang langkah ini dari sudut pandang akademik murni mungkin akan mempertanyakan urgensinya. Namun, dalam politik negara, keputusan semacam ini tidak bisa dipisahkan dari kepentingan strategis yang lebih luas.
Dengan merujuk pada preseden sejarah, kita diajak untuk melihat bahwa amnesti dan abolisi bukan semata produk kebijakan kontroversial, melainkan mekanisme konstitusional untuk menavigasi bangsa keluar dari polarisasi menuju harmoni.
Presiden, dalam sejarahnya, telah beberapa kali menggunakan hak prerogatif untuk memberikan amnesti dan abolisi demi kepentingan nasional. Pertanyaannya kini, apakah langkah Prabowo membawa kita pada rekonsiliasi yang lebih besar, atau justru membuka babak baru kontroversi hukum dan politik? Waktu dan sejarah akan menjawabnya.***
Source : Topikterkini.com