Hukum Dibelokkan, Akses Keadilan Dipersulit?, PA Surabaya Disorot!

Sambar.id, Surabaya, Jatim - Praktik pelayanan administrasi di lingkungan peradilan kembali menuai sorotan. Sabtu (02/08/2025)


Kali ini, Pengadilan Agama (PA) Surabaya diduga melakukan penolakan tidak berdasar terhadap pemohon yang membawa Surat Kuasa Khusus yang sah dari pihak tergugat dalam perkara perceraian. Alasan penolakan: pemohon bukan seorang advokat.


Hartanto Boechori, wartawan utama sekaligus Ketua Umum Persatuan Jurnalis Indonesia (PJI), mengalami langsung kejadian tersebut saat mewakili anggota PJI yang tengah digugat cerai. 


Meski membawa surat kuasa khusus yang valid secara hukum, petugas loket enggan memberikan salinan berkas perkara. 


Permintaan Hartanto bahkan diarahkan ke jalur pengajuan keterbukaan informasi publik (KIP), sebelum akhirnya salinan putusan diberikan setelah perdebatan panjang.


“Saya minta dasar hukum penolakan itu, tapi petugas tak mampu menunjukkan. Justru diminta buat surat pengajuan, seolah saya bukan mewakili pihak tergugat, padahal surat kuasa saya sah,” ungkap Hartanto kepada Sambar.id.


Bertentangan dengan Hukum Positif


Penolakan tersebut dinilai bertentangan dengan Pasal 123 HIR (Herzien Inlandsch Reglement), yang menyatakan:


“Jika pihak-pihak yang berperkara tidak datang menghadap sendiri, maka mereka boleh menyuruh orang lain dengan surat kuasa khusus untuk mewakilinya.”


Ketentuan ini menegaskan bahwa pihak yang berperkara boleh menunjuk siapa pun sebagai kuasanya, tanpa syarat harus berstatus advokat. Ketentuan tersebut masih berlaku hingga hari ini di wilayah hukum Jawa dan Madura, tempat PA Surabaya berada.


Selain itu, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 2 Tahun 1959 dengan tegas menyebut:


“Salinan putusan hanya boleh diberikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan atau kepada wakilnya yang sah.”


Artinya, pengambilan salinan putusan dapat dilakukan oleh siapa saja yang mendapat kuasa secara sah dari pihak berperkara, bukan semata-mata oleh advokat resmi.


“Ini bukan sekadar kekeliruan administratif, tapi bentuk pembatasan akses keadilan. Pengadilan bukan lembaga privat. Pelayanan hukum harus tunduk pada hukum, bukan pada tafsir birokrasi,” tegas Hartanto.


Evaluasi Mendalam Terhadap Layanan Peradilan


Hartanto menilai kejadian ini mencerminkan buruknya standar pelayanan publik dalam lembaga peradilan. 


Ia mendesak agar Mahkamah Agung melakukan evaluasi menyeluruh terhadap praktik birokrasi di pengadilan, terutama pada tingkat loket dan pelayanan administrasi.


“Pelayanan hukum tidak boleh bergantung pada persepsi individu, melainkan harus sesuai dengan hukum positif. Bila ruang pelayanan dipersempit secara sepihak, keadilan menjadi barang mewah bagi rakyat,” ujarnya.


Peringatan Keras bagi Cita-Cita Reformasi Hukum


Peristiwa ini menjadi cermin bahwa reformasi hukum masih belum menyentuh aspek paling dasar: pelayanan publik yang taat hukum. Jika pemegang kuasa sah pun dipersulit hanya karena bukan advokat, maka yang dipertanyakan bukan lagi dokumen hukumnya, melainkan akal sehat hukum di balik sistem peradilan.


“Bila surat kuasa sah dianggap tidak cukup hanya karena bukan dibuat pengacara, maka yang keliru bukan suratnya—tetapi cara berpikir aparaturnya,” pungkas Hartanto.


Kejadian ini bukan sekadar insiden birokratis, melainkan sinyal keras bahwa akses terhadap keadilan masih terhalang oleh tembok tafsir dan ketidaktahuan hukum di meja pelayanan peradilan. Jika dibiarkan, cita-cita reformasi hukum hanya akan tinggal jargon di atas kertas.


Editor Hukum: Tim Investigasi Sambar.id

Lebih baru Lebih lama