Sambar.id, Sinjai – Desakan keras datang dari aktivis pemuda Kabupaten Sinjai terhadap Polres Sinjai terkait kasus prostitusi jaringan terorganisir di Kecamatan Sinjai Barat yang hingga kini belum tuntas.
Meski sudah berjalan tiga tahun, enam orang masih berstatus Daftar Pencarian Orang (DPO) dan belum berhasil ditangkap.
Padahal, enam pelaku lainnya sudah divonis dan menjalani hukuman di Rutan Kelas IIB Sinjai. Fakta ini menimbulkan tanda tanya besar atas keseriusan aparat kepolisian.
Ansar M., salah satu aktivis pemuda Sinjai, menilai Polres Sinjai terkesan tidak profesional dalam penanganan perkara ini. Ia mengecam dugaan pembiaran, apalagi meski sudah terjadi dua kali pergantian Kasat Reskrim dan empat kali pergantian Kanit PPA, kasus tersebut tetap stagnan.
“Kami mendesak Polres Sinjai segera menuntaskan kasus ini. Jangan sampai ada kesan pembiaran. Jika terus mangkrak, berarti ada indikasi kesengajaan dan ini jelas mencoreng nama baik Polri,” tegas Ansar.
Nada kekecewaan juga disampaikan pihak keluarga korban, salah satu keluarga, menilai lambannya proses hukum menimbulkan luka baru bagi korban dan masyarakat.
“Kalau memang Polres Sinjai tidak mampu menangani enam DPO tersebut, seharusnya meminta bantuan Polda Sulsel agar kasus ini segera tuntas,” ujarnya.
Dasar Hukum
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP):
Pasal 296 KUHP: “Barang siapa dengan sengaja turut campur dalam perbuatan cabul sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah.”
Pasal 506 KUHP: “Barang siapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya sebagai pekerjaannya, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun.”
2. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak:
Pasal 76I: “Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam prostitusi atau eksploitasi seksual.”
Pasal 88: “Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak, dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).”
3. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP):
Pasal 112 ayat (1): “Penyidik yang melakukan pemeriksaan terhadap tersangka berhak memanggil tersangka dengan surat panggilan.”
Pasal 17 jo. Pasal 18 KUHAP: Dasar penerbitan Daftar Pencarian Orang (DPO) bagi tersangka yang melarikan diri, serta kewajiban aparat untuk melakukan penangkapan.
4. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia:
Pasal 13: “Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah: a) memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b) menegakkan hukum; c) memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.”
Pasal 14 ayat (1) huruf g: “Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.”
5. Kode Etik dan Disiplin Polri:
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Polri:
Pasal 3 huruf g: “Anggota Polri wajib menaati dan menghormati norma hukum, serta menjunjung tinggi harkat dan martabat Polri.”
Pasal 4 huruf d: “Anggota Polri dilarang menyalahgunakan wewenang.”
Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri:
Pasal 10 ayat (1): “Setiap anggota Polri wajib melaksanakan tugas secara profesional, proporsional, dan prosedural.”
Pasal 11 huruf c: “Anggota Polri wajib menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran dalam setiap tindakan.”
Dengan dasar hukum dan aturan etik ini, jelas bahwa penundaan penangkapan enam DPO kasus prostitusi di Sinjai Barat bukan hanya soal teknis penyidikan, tetapi menyangkut profesionalisme dan integritas Polri.
Aktivis pemuda dan keluarga korban mendesak agar Polres Sinjai tidak berlindung di balik alasan klasik, melainkan segera menuntaskan kasus ini demi tegaknya keadilan dan terjaganya marwah kepolisian di mata masyarakat. (*)