Dilema Tata Kelola Timah: Antara Asa dan Luka Penambang Rakyat

Oleh: Musda Ansori

Sambar.id, Opini - Aksi ribuan penambang rakyat yang memadati kantor PT Timah di Pangkalpinang, Senin, 6 Oktober 2025, meninggalkan jejak kelabu di tanah Serumpun Sebalai. Terik panas dan teriakan aspirasi berubah menjadi kobaran amarah. 


Sejarah seolah berulang—seperti tahun 2006 silam, kala rakyat Bangka juga tumpah ruah di kantor Gubernur, menuntut keadilan yang tak kunjung mereka rasakan.


Namun di balik kericuhan, ada secercah harapan. Empat tuntutan penambang rakyat akhirnya disetujui langsung oleh Direktur Utama PT Timah Tbk, Restu Widiyantoro. Suasana yang semula tegang mendadak cair. 


Janji harga timah Rp300 ribu per kilogram dengan kadar 70% Sn, ruang kerja bagi penambang di WIUP PT Timah, serta penghentian tindakan represif aparat—membuat rakyat seolah mencium aroma perubahan.


Sayangnya, janji manis di tengah puing-puing kantor yang porak poranda itu kini menjadi dilema baru. Sebab, di antara harapan dan kenyataan, terbentang jurang bernama tata kelola pertambangan yang baik dan benar.


PT Timah bukan sekadar perusahaan, ia representasi negara. Maka setiap kebijakan harus berpijak pada hukum dan etika industri.


Penambangan rakyat memang menggugah empati, namun tanpa regulasi yang jelas, janji “menambang aman” hanya akan menjerumuskan masyarakat ke jurang hukum dan kerusakan lingkungan.


Apakah PT Timah akan menanggung beban sosial, hukum, dan ekologis ketika masyarakat menambang di luar wilayah izin atau tanpa teknis keselamatan yang memadai? Bagaimana dengan pascatambang dan pemulihan lingkungan yang menjadi tanggung jawab IUP? Pertanyaan ini menggantung di udara—dan jawabannya akan menentukan nasib ribuan keluarga penambang.


Sementara di sisi lain, rakyat kecil sudah menaruh harapan besar pada satu nama: Restu Widiyantoro. Sosok Dirut yang kini menjadi simbol “penyambung nyawa ekonomi rakyat tambang.” Ia tentu memahami bahwa mengelola sumber daya bukan sekadar soal angka dan produksi, tetapi juga tentang amanah dan keberlanjutan.


Namun jangan sampai semangat pro-rakyat yang ditunjukkan kemarin justru menjadi bumerang. Sebab janji tanpa mekanisme hukum yang kuat hanya akan melahirkan kekecewaan baru. 


Ketika penambang kembali turun ke lubang, mereka bukan sedang menggali bijih timah semata—tetapi juga menggali nasib, menggali harapan, dan terkadang, menggali kubur keadilan itu sendiri.


Negara harus hadir, bukan hanya dalam janji, tetapi dalam kebijakan yang berpihak dan berkeadilan. 


Regulasi yang manusiawi, namun tetap berpijak pada prinsip keberlanjutan. Karena sejatinya, tambang bukan hanya soal logam yang berkilau di dasar bumi, tapi juga tentang harga diri, kejujuran, dan keseimbangan hidup antara manusia dan alam.


Semoga kali ini, suara rakyat tidak kembali dibungkam oleh janji, dan bumi Bangka Belitung tidak lagi harus menangis karena kerakusan yang berselimut niat baik. (*)

Lebih baru Lebih lama