SAMBAR.ID, Jakarta – Profesi Advokat sebagai salah satu pilar utama penegakan hukum, menghadapi tantangan signifikan seiring dengan akan berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru (UU Nomor 1 Tahun 2023). Perubahan ini menuntut kesiapan komprehensif dari para advokat dalam mengimplementasikan KUHP baru, baik dari aspek substansi maupun praktik penegakan hukum di lapangan.
Kesiapan Komprehensif Advokat Diperlukan
Advokat Oki Prasetiawan, SM., SH., MH., CLMA., yang juga berprofesi di organisasi advokat Perkumpulan Badan Advokat Solidaritas Merdeka Indonesia (PEMBASMI) yang diketuai oleh Dr.(C) M. Firdaus Oiwobo, SH., SH.i., MH., menekankan pentingnya pemahaman yang komprehensif bagi advokat dan aparat penegak hukum lainnya.
"Seorang advokat dan penegak hukum lainnya harus dapat memahami secara komprehensif, baik dari aspek substansi maupun dalam praktik penegakan hukumnya," ujar Oki Prasetiawan.
Oki juga berpesan kepada seluruh instansi/aparat penegak hukum untuk menjalankan peran dan tanggung jawabnya dengan hati nurani. Hal ini penting untuk menghindari stigma bahwa penegakan hukum terkesan "tajam ke bawah dan tumpul ke atas".
Memastikan Keadilan, Kepastian, dan Manfaat Hukum
Peran krusial advokat adalah memastikan penerapan KUHP baru sesuai dengan UU Nomor 1 Tahun 2023 berjalan sebagaimana mestinya, berlandaskan prinsip-prinsip keadilan, kepastian hukum, dan manfaat dari hukum itu sendiri.
"Seorang advokat harus dapat memastikan agar penerapan KUHP baru sesuai dengan Undang-Undang No 1 tahun 2023 pun dapat berjalan dengan sebagaimana mestinya, sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan, kepastian hukum dan manfaat daripada hukum itu sendiri," tegas Oki.
Ia menambahkan, hukum harus dapat memberikan manfaat bagi seluruh masyarakat, bukan justru dijadikan alat untuk menakut-nakuti masyarakat kecil yang lemah atau untuk melindungi kekuasaan.
Potensi Politisasi dan Penyimpangan Penegakan Hukum
Sementara itu, Dr.(C) M. Firdaus Oiwobo, SH., SH.i., MH., selaku Ketua Umum Organisasi Advokat PEMBASMI, menyoroti adanya dugaan praktik politisasi dalam penegakan hukum.
"Diduga banyak praktik penegakan hukum itu di politisasi untuk dapat memenuhi kepuasan nafsu birahi demi terwujudnya keinginan para oknum, kelompok atau golongan tertentu, sehingga yang terjadi adalah yang menang itu belum tentu benar dan yang kalah itu belum tentu salah," ungkap Dr. Firdaus Oiwobo.
Komentar ini menggarisbawahi tantangan moral dan integritas yang harus dihadapi advokat dalam memperj
uangkan keadilan substantif di tengah kompleksitas dan dinamika penegakan hukum di Indonesia.
Narasumber: Perkumpulan Badan Advokat Solidaritas Merdeka Indonesia (PEMBASMI)
@Sambar.id/Hafids/Red








.jpg)
