Kasus Kabil Piayu Laut Menampar Pengawasan Lahan Batam Sistemnya Bocor, Pengawasannya Lemah


Sambar.id, Batam - Penghentian mendadak pengerokan lahan di Kabil–Piayu Laut pada Selasa (18/11/2025) adalah bukti paling terang bahwa pengawasan lahan di Batam masih penuh kebocoran. 

Dua beko yang langsung berhenti begitu anggota dewan datang bukan hanya adegan teknis itu adalah pengakuan terbuka bahwa pekerjaan tersebut berjalan tanpa fondasi prosedural yang benar-benar jelas.

Tidak ada papan proyek. Tidak ada identitas pelaksana. Tidak ada keterangan legalitas. Namun alat berat sudah bekerja mencabik kontur tanah yang sensitif secara ekologis. Situasi seperti ini tidak muncul dari “kelalaian kecil” ini muncul dari sistem pengawasan yang terlalu lemah, terlalu lambat, dan terlalu mudah dilompati.

Publik sudah terlalu sering disuguhi pola yang sama : 

• Proyek jalan tanpa identitas.
• Izin tidak ditampilkan.
• Instansi bergerak hanya ketika lokasi sudah ramai diperbincangkan.

Dan setiap kali kejadian terulang, jawaban instansi selalu sama: “masih kami telusuri,” “sedang dicek,” “akan ditindaklanjuti.” Padahal alat berat sudah beroperasi, tanah sudah dikeruk, dan dampak lingkungan sudah mulai berjalan.

Ini bukan sekadar lemahnya koordinasi. Ini kelemahan struktural.

Pernyataan BP Batam bahwa mereka masih menelusuri status lahan justru menimbulkan pertanyaan paling mendasar: bagaimana mungkin kegiatan pengerukan bisa berjalan tanpa lembaga pengelola wilayah memiliki data perizinannya secara utuh?

Jika otoritas tertinggi pengelolaan lahan di Batam saja harus “mencari tahu” apa yang sedang terjadi di wilayahnya, maka yang bermasalah bukan hanya proyeknya tetapi arsitektur pengawasannya sendiri.

DLH Batam pun hanya muncul setelah kejadian menjadi sorotan. Langkah pengecekan lapangan seharusnya menjadi tindakan awal, bukan tindakan darurat setelah masyarakat bertanya-tanya. Ketika lembaga lingkungan hanya berfungsi setelah aktivitas berjalan, maka pengawasan lingkungan hanya menjadi slogan.

Lebih jauh, kawasan Kabil–Piayu Laut bukan area biasa. Ini wilayah dengan kerentanan ekologis tinggi, di mana setiap pengerukan tanpa kendali berpotensi mengacaukan drainase, meningkatkan risiko banjir, hingga merusak ekosistem. Ketika wilayah seperti ini diperlakukan seolah-olah lahan kosong yang bebas diutak-atik, itu menunjukkan ketidakpedulian terhadap keselamatan lingkungan dan masyarakat.

Batam kini membutuhkan sistem pengawasan yang berani, tegas, dan tidak bisa dinegosiasikan. Kota sebesar ini tidak bisa terus mengandalkan pola kerja yang reaktif. Harus ada pemantauan berbasis data real time, pelacakan aktivitas alat berat, dan sistem lintas-instansi yang tidak menyisakan ruang bagi proyek tak beridentitas.

Tanpa itu, kejadian seperti Kabil–Piayu Laut hanya akan menjadi contoh berikutnya dalam daftar panjang kasus pengawasan yang gagal sejak awal.

Pada titik ini, publik bukan lagi bertanya “siapa yang mengeruk lahan itu,” tetapi “mengapa sistem pengawasan kita begitu mudah dilewati?”

Dan ketika sebuah proyek bisa berhenti seketika hanya karena kehadiran seorang anggota dewan, itu menegaskan satu hal, prosedur perizinan dan pengawasan kita tidak berjalan dengan wibawa, melainkan bergantung pada momen dan tekanan situasional.

Batam tidak boleh membiarkan dirinya menjadi kota yang dibangun dengan cara yang tak transparan. Masyarakat berhak mendapatkan pengelolaan ruang yang bersih, tertib, dan tidak bisa dimainkan oleh siapa pun. Sudah terlalu lama pengawasan hanya kuat di atas kertas sementara di lapangan, kenyataannya jauh berbeda.

Penulis: Guntur Hariandja 
Editor: redaksi sambar.id
Lebih baru Lebih lama