Sidang Pra Peradilan BAZNAS Enrekang Bongkar Cacat Kewenangan, Ahli: “Jika Dasarnya Salah, Seluruh Bangunan Hukumnya Runtuh”


Sambar.id, Enrekan, Sulsel —
Sidang pra peradilan perkara dugaan korupsi yang menyeret pimpinan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Kabupaten Enrekang memasuki babak krusial.


Agenda di Pengadilan Negeri Enrekang ini tidak hanya menguji sah atau tidaknya penetapan tersangka, tetapi juga menyeret ke permukaan indikasi kuat terjadinya error in authority, salah penerapan rezim hukum, hingga cacat prosedural sejak tahap awal penyidikan.


Memasuki hari keempat sidang, Kamis 18 Desember 2025, pemohon menghadirkan Ahli Administrasi Negara, Prof. Dr. H. Lauddin Marsuni, S.H., M.H., Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia (UMI). Keterangan ahli ini mengguncang konstruksi hukum yang selama ini digunakan oleh penyidik dalam perkara BAZNAS Enrekang.


BAZNAS Bukan Perangkat Daerah, Rezim Hukum Daerah Tidak Berlaku


Dalam keterangannya, Prof. Lauddin menegaskan bahwa BAZNAS dibentuk melalui Keputusan Presiden Nomor 8 Tahun 2001 dan diperkuat oleh UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, sehingga secara kelembagaan merupakan lembaga pemerintah nonstruktural (LPND) yang bersifat mandiri dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Agama.


Penunjukan pimpinan BAZNAS kabupaten/kota oleh bupati atau wali kota, kata dia, hanyalah tindakan administratif setelah adanya pertimbangan dari BAZNAS pusat.


“Yang harus digarisbawahi, BAZNAS bukan perangkat daerah dan bukan SKPD. Rezim hukum keuangan daerah tidak bisa serta-merta dipaksakan kepada BAZNAS,” tegasnya di hadapan hakim tunggal.


Audit Inspektorat Dinilai Cacat Kewenangan


Sorotan paling tajam muncul ketika ahli menilai Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Inspektorat Sulsel, yang digunakan sebagai dasar penetapan tersangka dan klaim kerugian negara Rp16,6 miliar, sebagai produk cacat hukum.


Ia menjelaskan bahwa Inspektorat hanya berwenang melakukan pengawasan internal terhadap perangkat daerah tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.


“BAZNAS bukan perangkat daerah. Inspektorat tidak memiliki kewenangan absolut untuk mengaudit, apalagi menghitung kerugian negara di BAZNAS.”


Menurutnya, karena kewenangan dasarnya sudah tidak ada, maka seluruh produk hukum yang dilahirkan menjadi tidak sah dan tidak bisa dijadikan alat bukti.


“Kalau prosesnya salah dari awal, hasilnya pasti salah.”


Zakat Bukan Keuangan Negara


Prof. Lauddin juga mengurai secara sistematis bahwa dana zakat bukan bagian dari keuangan negara, baik dari sumber maupun mekanisme pengelolaannya. Ia merinci bahwa sumber keuangan negara berasal dari pajak, PNBP, hibah, denda, keuntungan BUMN, pinjaman, dan instrumen lain yang diatur undang-undang.


“Zakat tidak termasuk dalam seluruh kategori sumber keuangan negara tersebut,” ujarnya.


Pendapat ini diperkuat oleh Ijtima Ulama Mei 2024 di Bangka Belitung, yang menegaskan bahwa zakat adalah dana umat, bukan dana negara, dan karenanya tidak masuk dalam rezim UU Keuangan Negara.


Jika zakat dianggap sebagai keuangan negara, lanjutnya, maka pertanggungjawaban seharusnya berada di bawah Menteri Keuangan — bukan Menteri Agama. Fakta bahwa BAZNAS tunduk pada UU Pengelolaan Zakat mempertegas kekeliruan konstruksi hukum yang dipakai penyidik.


Alat Bukti dari Lembaga Tidak Berwenang Kehilangan Legalitas


Ahli juga menyoroti dalil termohon bahwa mereka telah memiliki dua alat bukti, salah satunya LHP Inspektorat Sulsel.


“Bagaimana mungkin alat bukti lahir dari lembaga yang tidak punya kewenangan? Jika dasar kewenangan salah, maka seluruh bangunan hukumnya runtuh.”


Ia menegaskan bahwa kesalahan kewenangan atau error in authority adalah cacat serius yang tidak dapat diperbaiki di tahap lanjutan proses pidana.


Kuasa Hukum: Penyidikan Terburu-buru dan Sarat Kekeliruan


Salah satu kuasa hukum pemohon, Adhi Bintang, menyebut pra peradilan ini telah membuka tabir bahwa penyidikan dilakukan secara serampangan dan tidak cermat.


Menurutnya, penyidik memaksakan rezim hukum keuangan negara terhadap lembaga yang secara tegas tidak berada dalam lingkup tersebut.


“Ini momentum penting untuk mengoreksi praktik penegakan hukum yang menyimpang dan berpotensi mencederai rasa keadilan,” ujarnya.


Ujian bagi Aparat Penegak Hukum


Sidang pra peradilan ini dinilai menjadi ujian serius bagi profesionalitas aparat penegak hukum, terutama dalam membedakan rezim hukum keuangan negara dengan rezim hukum pengelolaan zakat.


Kesalahan membedakan keduanya, lanjutnya, berpotensi melahirkan kriminalisasi dan preseden buruk bagi lembaga zakat di Indonesia.


Putusan Berpotensi Jadi Preseden Nasional


Para pemohon berharap hakim menjatuhkan putusan berdasarkan fakta persidangan, prinsip legalitas, dan keadilan substantif.


Putusan Pengadilan Negeri Enrekang nantinya tidak hanya menentukan nasib para pemohon, tetapi juga berpotensi menjadi preseden nasional dalam penanganan perkara yang melibatkan lembaga zakat di Indonesia.


Kini publik menanti jawaban atas satu pertanyaan mendasar:


Apakah hukum ditegakkan berdasarkan kewenangan yang sah dan konstitusional, atau justru membenarkan praktik penegakan hukum yang cacat sejak hulu? (Ode)

Lebih baru Lebih lama