Nani Wartabone dan PERMESTA


Sabar.id,Gorontalo || “Kadang, musuh bukan datang dari laut ., tapi dari dalam rumah sendiri ..!!”


Pada tahun 1957.Angin pegunungan masih sejuk, dan suara azan masih memecah bukit-bukit. Tapi udara itu terasa panas bukan karena matahari, tapi karena aroma perpecahan yang menyebar di tanah Sulawesi.


Di utara, berdentum kabar tentang Permesta Perjuangan Semesta, sebuah gerakan militer yang awalnya menuntut otonomi dan pemerataan pembangunan dari Jakarta. Tapi perlahan berubah: menjadi pemberontakan bersenjata, menyatakan tidak patuh kepada pemerintah pusat.


Sebagian rakyat bingung.Sebagian tentara bingung.Dan banyak yang diam menunggu siapa yang akan menang.


Tapi Nani Wartabone tidak diam.


Nani adalah pejuang tua yang sudah mencicipi rasa peluru Belanda dan Jepang. Ia pernah memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Gorontalo pada 23 Januari 1942 jauh sebelum Bung Karno dan Hatta membacakannya di Jakarta. Tapi ia bukan tipe tokoh yang mengagung-agungkan masa lalu. 


Ia hidup untuk tanggung jawab hari ini ..!!


Ketika banyak TOKOH LOKAL tergoda untuk berpihak pada Permesta karena kecewa pada pusat, atau karena ambisi daerah Nani tetap tegak berdiri di bawah Merah Putih.


Dia tahu, Jakarta tidak sempurna. Tapi bercerai-berai adalah jalan menuju penjajahan baru.


Di usianya yang tidak muda lagi, Nani Wartabone tetap memakai pakaian gerilya dan turun langsung ke desa-desa, gunung-gunung, menyadarkan rakyat : bahwa bersatu jauh lebih penting daripada menang sendiri.


Ia bicara dengan rakyat.


“Anak-anak muda .!, Jangan terseret Permesta. Kita berjuang bukan untuk membuat republik tandingan. Kita dulu angkat senjata melawan Belanda supaya kita satu. Jangan sekarang, justru kita menjadi penjajah atas nama daerah.”


Dia tidak menembak rakyatnya .,

Ia menembus hati mereka.


Suatu hari, seorang perwira Permesta datang diam-diam menemui Nani.


“Kami tahu siapa Tuan. Pejuang besar. 


Kami tak ingin memerangi Tuan. Mari kita berdamai. Tapi jangan dukung Jakarta. Biarkan Gorontalo berdiri sendiri ..”


Nani hanya menatapnya.


 “Anak muda... saya dulu menantang Belanda demi Merah Putih. Masa saya harus menantang Indonesia demi kain lain ..??”


Ia menolak “damai dengan syarat”. 

Karena baginya, perdamaian bukan sekadar berhenti tembak-menembak, tapi menjaga kesetiaan pada cita-cita bersama.


Permesta mencoba masuk ke Gorontalo. Mereka berharap akan mendapat sambutan rakyat.


Tapi Nani sudah lebih dulu menyusun jaringan rakyat.


Tani, pelajar, ulama, bahkan bekas tentara Jepang yang tinggal di Gorontalo semuanya dirangkulnya.


Ketika pasukan Permesta mendekat, mereka tidak disambut sebagai pembebas tapi sebagai pemecah. Dan mereka mundur. Tanpa pertempuran besar, hanya kekuatan moral yang menang.


Nani Wartabone hidup tidak untuk jadi BINTANG LAPANGAN, tetapi jadi TIANG FONDASI Republik di pinggiran.


Ia wafat pada 3 Januari 1986 dalam damai, setelah bertahun-tahun menjaga api kesatuan di tanah.


"Ia pernah melawan penjajah luar .,

Tapi salah satu perjuangan terberatnya adalah berkata "tidak" pada Saudara dan sesama bangsa sendiri yang ingin memecah NKRI 

Bersama Ronny Kaluku

( syarief 01 )

Lebih baru Lebih lama