Oleh : Faqih Azzura Abimanyu | Alumni Paskibraka Provinsi Sulteng
SAMBAR.ID, Opini, Jogjakarta - MENJELANG Dirgahayu Republik Indonesia ke 80 Tahun, tepat pada tanggal 17 Agustus 2025 nanti, saya tidak sesedih ini.
Saya kini menyelesaikan tugas akhir belajar mandiri IT di sebuah universitas Jogjakarta. Ingin kembali kuliah jurusan Hubungan Internasional (HI) juga di Jogjakarta. Pemahaman saya, Indonesia masa depan butuh milenial yang paham dan berkompetensi teknologi digital dan mampu menjadi diplomat negara dan bangsanya di kancah pergaulan internasional.
Saya pun tertarik dengan mengambil Program Pemerintahan Provinsi Sulawesi Tengah kepemimpinan Bapak Gubernur Anwar Hafid, BERANI CERDAS. Mendaftar di aplikasi dan memenuhi semua syarat. Saya lulus di Univesitas Malaya Malaysia dan universitas di Jogjakarta.
Tak mau membebani orangtua, saya memilih satu kota dua studi saja. Karena living cost di Malaysia berbeda dan disituasi ekonomi begini susah dipastikan. Saya pun memilin jalur Non Akademik. Karena jalur akademik tak mungkin karena saya bukan lulusan SLTA 2025. Mengambil jalur Afirmasi pun tak mungkin. Karena manipulasi menjadi orang miskin tidaklah baik walau untuk kepentingan yang baik, kata ayah saya.
Saya kaget bercampur kecewa !!! Sertifikat Paskibraka seharusnya menjadi simbol kehormatan dan pengakuan atas dedikasi, kedisiplinan, serta semangat nasionalisme generasi muda yang telah mengharumkan nama daerahnya. Tak bersyarat di aplikasi BERANI CERDAS.
Sangat disayangkan, realitas di Sulawesi Tengah justru menyajikan ironi: sertifikat Paskibraka Provinsi Sulteng tak memiliki nilai fungsional. Alih-alih menjadi modal administratif yang bisa dipakai dalam dunia pendidikan atau ketenagakerjaan, sertifikat ini kini tak lebih dari sekadar kenang-kenangan dan hiasan dinding.
Gubernur Sulawesi Tengah, sebagai pimpinan tertinggi di provinsi ini, patut dikritisi. Mengapa tidak ada tindak lanjut atau payung hukum yang jelas untuk mengakui nilai sertifikat ini secara resmi? Mengapa tak ada langkah konkret dari pemerintah provinsi untuk memastikan bahwa para alumni Paskibraka diberikan ruang ‘afirmatif’ di bidang pendidikan, beasiswa, atau bahkan rekrutmen CPNS?
Setiap tahun, anak-anak muda terbaik dari berbagai kabupaten/kota rela berlatih keras demi mengibarkan Sang Saka Merah Putih di tingkat provinsi. Tapi setelah upacara selesai, apa yang mereka dapatkan? Apresiasi yang diberikan ternyata hanya bersifat seremonial. Di atas kertas, mereka “dihormati”. Namun di lapangan, mereka tidak diberdayakan.
Sudah saatnya Gubernur Sulteng melihat hal ini bukan sebagai isu kecil, melainkan bagian dari krisis pengelolaan penghargaan dan pembinaan generasi muda. Bila pemerintah hanya pandai berfoto dan membagikan piagam tanpa makna, maka kita sedang mencetak generasi yang kecewa, bukan yang bangga menjadi bagian dari sejarah.
Generasi muda bukan alat upacara. Mereka adalah pilar masa depan. Jangan biarkan dedikasi mereka dikubur oleh ketidakpedulian birokrasi.
Bapak Gubernur BERANI pastinya, memberikan kami anak anak Bela Negara, yang dicita-citakan Presiden Prabowo Subianto, alumni Paskibraka Provinsi Sulteng sebuah pengakuan. Bukan hadiah.
Bapak Gubernur, jangan biarkan generasi muda merasa ditipu oleh seremoni. Kami adalah bagian dari sejarah – beri kami makna, bukan hanya kenangan. ***