Salah satu bakal calon, Sahril, resmi melayangkan dua surat keberatan sekaligus permohonan audensi kepada DPRD OKU, lantaran munculnya tahapan seleksi tambahan yang dianggap tidak memiliki dasar hukum.
Dalam surat sanggahan bernomor 01/SK-CK.PAW/IX/2025 tertanggal 20 September 2025, Sahril menilai panitia pemilihan telah melampaui kewenangan. Ia menegaskan mekanisme tambahan yang dibuat panitia berpotensi menyalahi aturan perundang-undangan.
“Seleksi tambahan itu seharusnya berlandaskan aturan. Yang berhak menilai bukan panitia atau pihak kecamatan, melainkan pihak independen seperti akademisi kampus. Kalau tidak, ini menyalahi undang-undang,” tegasnya.
Tidak berhenti di situ, Sahril juga mengajukan surat permohonan audensi bernomor 02/AUD-CK.PAW/IX/2025 tertanggal 22 September 2025 yang ditujukan kepada Komisi I DPRD Kabupaten OKU. Dalam surat tersebut, ia meminta DPRD memfasilitasi pertemuan resmi untuk membahas sanggahan dan bukti-bukti yang dimilikinya.
“Bahwa dalam kesempatan ini akan kami sampaikan beberapa hal terkait sanggahan dan keberatan kami dalam proses seleksi tersebut,” tulis Sahril dalam surat yang ditandatanganinya.
Dasar Hukum yang Dipersoalkan
- Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Pasal 34 ayat (1): Jika kepala desa berhenti sebelum habis masa jabatannya, maka dilakukan PAW melalui musyawarah desa atau pemilihan sesuai aturan. Pasal 34 ayat (2): Mekanisme PAW diatur lebih lanjut melalui peraturan daerah.
- Permendagri Nomor 112 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Desa jo. Permendagri Nomor 65 Tahun 2017 Pasal 2 ayat (2): Pemilihan kepala desa harus berprinsip langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Pasal 45 ayat (1): Panitia hanya berwenang menyelenggarakan tahapan, bukan menambah seleksi di luar aturan.
- Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan Pasal 17: Melarang pejabat administrasi menyalahgunakan wewenang dengan membuat keputusan di luar ketentuan hukum.
- Pasal 33 Jadi Sorotan Di sisi lain, aturan turunan daerah justru mengatur adanya seleksi tambahan. Pasal 33 berbunyi: 1. Jika bakal calon lebih dari tiga orang, panitia pemilihan antarwaktu melakukan seleksi tambahan dengan kriteria pengalaman kerja di pemerintahan desa, tingkat pendidikan, dan usia.
Menurut Sahril, regulasi PAW jelas tidak menyebut adanya tahapan tambahan. Oleh karena itu, langkah panitia dinilai cacat hukum dan berpotensi mencederai asas demokrasi desa.
“Kelima bakal calon yang sudah mendaftar seharusnya langsung berkompetisi. Seleksi tambahan ini hanya menghambat dan menimbulkan kesan diskriminatif,” ungkapnya.
Sebagai tindak lanjut, Sahril menembuskan surat sanggahannya ke Bupati OKU, Dinas PMD, Camat Baturaja Timur, serta BPD Desa Tanjung Kemala. Ia juga mendesak DPRD Kabupaten OKU, khususnya Komisi I, untuk mengambil sikap tegas agar proses PAW berjalan sesuai aturan dan tidak merugikan para calon maupun masyarakat desa.
Masalah tata kelola desa tak hanya berhenti pada polemik PAW. Fenomena lain yang sering muncul adalah pemberhentian perangkat desa secara sewenang-wenang.
Berdasarkan Permendagri Nomor 83 Tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Perangkat Desa yang diubah dengan Permendagri Nomor 67 Tahun 2017, kepala desa memang berwenang mengangkat dan memberhentikan perangkat desa. Namun, kewenangan itu tidak boleh dilakukan secara sepihak.
Pasal 5 ayat (3) Permendagri 67/2017 menegaskan bahwa kepala desa wajib berkonsultasi kepada camat dan memperoleh rekomendasi tertulis sebelum memberhentikan perangkat desa.
Sayangnya, praktik di lapangan menunjukkan hal sebaliknya. Banyak kepala desa justru mengganti perangkat hanya karena faktor kedekatan, bukan alasan normatif. Akibatnya, muncul maladministrasi dan laporan masyarakat ke Ombudsman.
Regulasi ini sejatinya dibuat untuk mencegah nepotisme. Namun, fakta di lapangan memperlihatkan kecenderungan sebagian kepala desa membangun “dinasti kecil” di desa. Hal ini membuat roda pemerintahan tersendat karena terseret persoalan hukum.
Kelemahan pengawasan juga terlihat di tingkat kecamatan dan Dinas PMD. Padahal, PP Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah menugaskan camat untuk membina dan mengawasi jalannya pemerintahan desa.
Minimnya pengawasan membuat kasus pemberhentian perangkat desa tanpa prosedur tetap marak. Data Ombudsman RI Perwakilan Sulawesi Selatan bahkan mencatat, sepanjang 2020 ada empat pengaduan terkait dugaan maladministrasi dalam pemberhentian perangkat desa.
Polemik PAW di Tanjung Kemala dan kasus pemberhentian perangkat desa pada umumnya memiliki benang merah: penyalahgunaan kewenangan dan lemahnya pengawasan.
Salah satu solusi yang ditawarkan adalah Orientasi Tugas wajib bagi kepala desa terpilih, baik baru maupun incumbent, sebelum mulai efektif bertugas. Program ini bertujuan memastikan kepala desa benar-benar memahami aturan agar tidak gegabah dalam mengambil keputusan.
Publik kini menanti langkah Komisi I DPRD OKU untuk menindaklanjuti sanggahan Sahril. Sebab, sebagai lembaga pengawas, DPRD memiliki mandat hukum untuk memastikan setiap proses demokrasi di tingkat desa berjalan transparan, akuntabel, serta bebas dari praktik maladministrasi. (Amel)