Sambar.id, Sinjai || Dalam sejarah panjang Bugis Sinjai, nama Besse Langelo berdiri tegak sebagai simbol keberanian dan kehormatan. Ia menolak tunduk pada penjajah Belanda, memilih jalan mati dengan kepala tegak daripada hidup tanpa Siri’. Tetapi di tanah yang sama — Butta Panrita Kitta, negeri para cendekia dan penjaga marwah — kini muncul sosok lain yang memancing ironi: Kamrianto, seorang wakil rakyat yang justru menggadaikan nilai-nilai budaya yang diwariskan leluhurnya.
Besse Langelo dan Siri’ yang Menyala
Besse Langelo bukan hanya pahlawan, ia adalah roh dari falsafah Bugis: Siri’ na Pacce — harga diri dan solidaritas. Dalam darahnya mengalir keberanian (Barani) dan kehormatan yang tak bisa ditawar. Ia berperang bukan demi kekuasaan, tetapi demi menjaga martabat bangsanya.
Dalam logika budaya Bugis, Siri’ adalah hidup itu sendiri. Siapa yang kehilangan Siri’, kehilangan dirinya. Itulah sebabnya, pengorbanan Besse Langelo dikenang bukan karena heroisme semata, tapi karena keteguhannya menjaga kehormatan di hadapan penindasan.
Kamrianto dan Siri’ yang Terluka
Kontras mencolok terlihat pada Kamrianto, anggota DPRD Sinjai yang kini disorot publik setelah melaporkan istrinya sendiri atas dugaan perselingkuhan. Di mata banyak orang, tindakannya mungkin lahir dari rasa malu dan ketersinggungan — upaya menegakkan Siri’ pribadi. Namun dalam kaca mata budaya Bugis, langkah itu justru membuka aib rumah tangga ke ruang publik, sesuatu yang sejatinya melanggar Siri’ itu sendiri.
Lebih ironis lagi, publik belum lupa bayang-bayang kasus narkoba yang sempat menyeret namanya. Kini, tindakan membuka aib keluarga hanya mempertegas luka moral: bagaimana seorang wakil rakyat yang seharusnya menjadi teladan justru terperosok dalam pusaran yang mencoreng kehormatan daerahnya.
Pangngaderreng yang Terguncang
Dalam sistem sosial Bugis, Pangngaderreng menjadi pedoman hidup — perpaduan antara adat, agama, etika, dan peradilan sosial. Setiap tindakan manusia diukur bukan hanya dari hukum positif, tapi juga dari nilai moral dan rasa malu (malebbi’).
Tindakan Kamrianto, baik dalam kehidupan pribadi maupun rekam jejak publiknya, dapat dipandang sebagai pelanggaran terhadap prinsip Pangngaderreng: gagal menjaga kehormatan diri dan keluarga, serta merusak citra lembaga rakyat yang ia duduki.
Apakah Kamrianto Masih Layak Jadi Panutan?
Pertanyaan ini kini menggema di tengah masyarakat Sinjai: Apakah sosok Kamrianto masih bisa dijadikan panutan?
Dalam adat Bugis, seorang pemimpin — apalagi bergelar “Panrita Kitta” — tidak hanya diukur dari kemampuan berbicara di ruang sidang, tetapi juga dari adab dan perilaku di ruang hidup.
Pemimpin sejati bukan hanya mampu menegakkan hukum, tetapi juga menjaga marwah, kesantunan, dan kehormatan keluarganya.
Kamrianto, dengan segala kontroversinya, tampaknya telah kehilangan pijakan pada nilai dasar itu. Dalam tradisi Bugis, kehilangan adab berarti kehilangan legitimasi moral. Ia mungkin masih duduk di kursi dewan, tetapi dalam pandangan budaya, ia sudah kehilangan kursi kehormatan di hati rakyatnya.
Butta Panrita Kitta dan Krisis Keteladanan
Sebagai tanah yang dikenal dengan sebutan Butta Panrita Kitta — negeri orang berilmu dan beradab — masyarakat Sinjai kini dihadapkan pada krisis keteladanan. Nilai-nilai luhur Bugis yang diwariskan oleh leluhur seperti Besse Langelo tampak tereduksi oleh perilaku elit yang lebih sibuk menegakkan ego daripada menjaga marwah.
Siri’ na Pacce bukan sekadar simbol keberanian, tetapi juga kompas moral. Ia mengajarkan kejujuran, tanggung jawab, dan rasa malu ketika menyimpang. Kamrianto seharusnya menjadi panrita — penuntun moral — bukan justru contoh buruk yang mempermalukan Butta Panrita Kitta di mata rakyatnya sendiri.
Refleksi: Siri’ Harus Kembali ke Ruhnya
Kasus ini menjadi cermin bahwa Siri’ bisa disalahartikan dan digunakan secara selektif. Ia bisa dijadikan alat pembenaran pribadi ketika nurani telah tumpul. Padahal, hakikat Siri’ bukan menelanjangi, tetapi menjaga. Bukan menghukum, tetapi memulihkan.
Besse Langelo memilih mati demi menjaga kehormatan bangsanya. Kamrianto memilih hidup dengan membuka aib keluarganya. Dua jalan berbeda yang menunjukkan betapa jauh pergeseran makna Siri’ di negeri yang pernah dijuluki “Butta Panrita Kitta”.
Dan mungkin kini, bukan hanya Besse Langelo yang berduka — tapi seluruh ruh Bugis Sinjai ikut menangis.
Hal sosok Kamrianto Bagaimana dengan sosok anggota dprd sinjai dari fraksi pan
DPRD dan Wakil Rakyat
Motto atau slogan yang digunakan oleh DPRD atau wakil rakyat umumnya lebih berfokus pada fungsi dan peran mereka sebagai pelayan masyarakat. Slogan-slogan ini dapat berbeda di setiap daerah, tetapi inti pesannya sering kali serupa.
- **"Berpikir, Bersikap, dan Bekerja yang Terbaik."** Ini adalah salah satu motto yang digunakan oleh Sekretariat DPRD Kota Yogyakarta.
- **"Kawal Aspirasi Rakyat."** Slogan ini menekankan tugas utama wakil rakyat untuk menyerap dan memperjuangkan aspirasi dari konstituennya.
- **"Abdi Masyarakat."** Slogan ini menegaskan bahwa wakil rakyat adalah pelayan publik yang bekerja untuk kepentingan masyarakat.
- **"Bekerja untuk Rakyat."** Ini adalah slogan yang simpel namun jelas, mencerminkan komitmen wakil rakyat untuk melayani dan menyejahterakan masyarakat.
Partai Amanat Nasional (PAN)
Slogan Partai Amanat Nasional telah mengalami beberapa perubahan dari waktu ke waktu, tetapi selalu menekankan komitmen terhadap rakyat.
- **"PAN Bantu Rakyat."** Slogan ini secara eksplisit menegaskan janji partai untuk berjuang membantu dan menyejahterakan masyarakat, terutama rakyat kecil.
- **"PAN TerdePAN."** Slogan ini menyoroti ambisi partai untuk menjadi yang terdepan dalam politik Indonesia.
- **"Bakti Nyata untuk Indonesia."** Slogan ini pernah digunakan PAN untuk menyambut ulang tahun ke-22, menunjukkan komitmen mereka untuk memberikan kontribusi nyata bagi negara.






.jpg)