Sambar.id, Batam || Dalam upaya memperkuat sinergi antara dunia usaha dan penegak hukum, Kejaksaan Tinggi Kepulauan Riau (Kejati Kepri) bersama PT Pertamina (Persero) menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Mitigasi Risiko Pidana dalam Kontrak Bisnis: Strategi Pencegahan dan Penanganan” di Batam Marriott Hotel Harbour Bay, Kamis (30/10/2025).
Kegiatan yang diikuti sekitar 100 peserta dari jajaran Kejati Kepri, Kejari se-Kepri, serta Pertamina Group wilayah Sumatera Bagian Utara (Sumbagut) ini menjadi forum penting untuk memperkuat tata kelola bisnis sekaligus mencegah kriminalisasi korporasi di tengah ketatnya iklim penegakan hukum nasional.
Mitigasi Hukum Jadi Tanggung Jawab Kolektif
Chief Legal Counsel PT Pertamina (Persero), Joko Yuhono, dalam sambutannya menegaskan bahwa risiko hukum dalam bisnis kini semakin kompleks.
“Mitigasi risiko pidana bukan hanya tugas fungsi Legal Counsel, tetapi tanggung jawab kolektif seluruh insan Pertamina. Setiap keputusan bisnis bisa berpotensi dipersoalkan secara hukum, bahkan dalam ranah pidana,” ujar Joko.
Ia menambahkan, penting bagi setiap korporasi untuk memahami batas antara ranah perdata dan pidana dalam kontrak bisnis. Menurutnya, literasi hukum dan good corporate governance (GCG) adalah kunci utama agar dunia usaha tidak terjebak dalam ketidakpastian hukum.
"Kita ingin Pertamina tetap profesional, transparan, dan bebas dari risiko pidana. Sinergi dengan Kejaksaan dan para ahli hukum menjadi fondasi penting dalam memastikan itu,” pungkasnya.
Kajati Kepri: Hukum Harus Memberi Kepastian, Bukan Menakuti
Dalam arahannya, Kepala Kejati Kepri, J. Devy Sudarso, menekankan pentingnya keseimbangan antara kepastian hukum dan ruang tumbuh bagi dunia usaha.
“Setiap kontrak dan kerja sama bisnis tidak hanya bernilai ekonomi, tapi juga menyimpan potensi risiko hukum. Karena itu, hukum harus hadir sebagai pelindung kegiatan ekonomi yang sehat, bukan penghambatnya,” tegas Kajati.
Devy menggarisbawahi tiga pilar utama dalam menjaga ekosistem bisnis yang berintegritas:
1. Pencegahan melalui tata kelola yang baik (GCG).
2. Peningkatan kapasitas hukum internal dan kolaborasi dengan penegak hukum.
3. Penegakan hukum yang berorientasi pada keadilan substantif.
“Kejaksaan memiliki tanggung jawab strategis untuk memastikan hukum ditegakkan dengan hati nurani, melindungi kepentingan negara sekaligus memberikan ruang bagi dunia usaha untuk tumbuh,” ujarnya.
Paradigma Baru BUMN dan Kepastian Hukum
FGD ini turut menghadirkan narasumber dari kalangan akademisi dan praktisi hukum ternama. Prof. Dr. Isis Ikhwansyah, S.H., M.H., CN dan Pupung Faisal, S.H., M.H. dari Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran memaparkan materi bertajuk “Aspek Kontraktual dan Potensi Pelanggaran yang Bisa Beralih Menjadi Tindak Pidana.”
Mereka menyoroti transformasi besar BUMN pasca terbitnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2025, yang menegaskan BUMN sebagai entitas korporasi di bawah Badan Pengaturan BUMN (BP-BUMN).
“Penerapan prinsip Good Corporate Governance dan Business Judgment Rule sangat penting agar keputusan bisnis tidak mudah dikriminalisasi,” tegas Prof. Isis.
Sementara itu, praktisi hukum Fabian Buddy Pascoal dari HPRP Law Firm menguraikan strategi praktis mitigasi risiko pidana, mulai dari penyusunan klausul kontrak, audit internal, hingga penerapan prinsip kehati-hatian (prudential principle).
“Korporasi perlu memperkuat unit kepatuhan hukum, transparansi dana, serta pelatihan etika bisnis agar tidak terjebak dalam pelanggaran pidana,” ujarnya.
Sinergi Penegak Hukum dan Dunia Usaha
FGD kemudian berlanjut dengan diskusi interaktif antara peserta dan narasumber. Suasana berlangsung dinamis dan terbuka, memperlihatkan keseriusan kedua pihak dalam menciptakan keseimbangan antara kepastian hukum dan iklim bisnis yang sehat.
Kajati Devy menutup dengan pesan reflektif:
“Pencegahan yang baik adalah bentuk penegakan hukum yang paling bijak. Mari jadikan forum ini momentum membangun sinergi strategis antara penegak hukum, dunia usaha, dan akademisi demi pembangunan ekonomi nasional yang berkeadilan.” (*)







.jpg)