Hamri NurSaldi, Aktivis HMI Ciputat,
Sambar.id, Bulukumba, Sulsel —Di balik pekatnya hutan adat Kajang, satu suara kembali menggema: hak ulayat bukan barang dagangan. Ia identitas. Ia martabat. Ia warisan yang tidak bisa dirobek oleh kepentingan apa pun.Seruan itu datang dari Hamri NurSaldi, Aktivis HMI Ciputat, yang secara tegas menolak dugaan penyerobotan tanah ulayat Kajang Ammatoa oleh pihak yang disebut terkait dengan anak Baco Bin Lambeng.
“Hak ulayat itu bukan tanah kosong yang bisa diklaim seenaknya. Itu roh masyarakat adat. Merampasnya, sama saja merampas martabat mereka,” tegas Hamri.
Aturan Jelas, Namun Ada yang Nekat Melanggar
Indonesia bukan tanpa hukum soal tanah adat.
Pasal 18B ayat (2) UUD 1945: Negara mengakui dan menghormati hak masyarakat adat.
UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA): Tanah adat merupakan hak komunal yang tidak dapat dimiliki secara pribadi.
Perda Bulukumba No. 9 Tahun 2015: Pengukuhan dan perlindungan tanah ulayat Kajang Ammatoa secara legal dan administratif.
Baca Juga: Sinjai Bingung Bupati Bungkam Rakyat Merana, Pemuda Sinbar Siap Turunkan Massa Tolak Rencana Tambang PT Trinusa
Namun landasan hukum yang solid ini tetap diabaikan oleh oknum yang diduga ingin menjadikan tanah adat sebagai properti pribadi.
“Ini bukan soal luas tanah. Ini soal sejauh mana keberanian seseorang melawan adat dan konstitusi hanya demi kepentingan pribadi,” tambah Hamri.
PN Bulukumba Turun ke Lapangan
Sementara polemik terus bergulir, ranah hukum kini bergerak. Pengadilan Negeri Bulukumba pada Jumat (14/11) melakukan pemeriksaan setempat (descente) dalam perkara perdata Nomor 9/Pdt.G/2025/PN Blk, yang mempertemukan Ketua Adat Kajang (Ammatoa), Puto Palasa sebagai tergugat dan Mappi dkk sebagai penggugat.
Pemeriksaan dipimpin langsung oleh Wakil Ketua PN Bulukumba, Henu Sistha Aditya, bersama dua hakim anggota dan panitera pengganti. Langkah ini dilakukan di Dusun Bantalang, Desa Pattiroang, lokasi objek sengketa seluas 17.588 meter persegi yang diklaim sebagai tanah adat.
Konflik mencuat setelah wafatnya Baco Bin Lambeng, ayah dari penggugat yang selama hidupnya menguasai lahan tersebut. Setelah ia meninggal, Ammatoa menegaskan bahwa tanah itu adalah wilayah ulayat, lengkap dengan sanksi adat yang diberlakukan.
Upaya mediasi telah dicoba, namun gagal. Tergugat tidak dapat hadir karena aturan adat melarang meninggalkan kawasan Ammatoa serta penggunaan teknologi modern — termasuk komunikasi elektronik.
Pemeriksaan setempat mengacu pada Pasal 180 RBg, Pasal 211 Rv, dan SEMA Nomor 7 Tahun 2001 guna memastikan kejelasan batas objek sengketa.
“Pemeriksaan ini bukan untuk menentukan pemilik sah. Kami hanya memastikan objek nyata, batas jelas, dan bebas potensi sengketa eksekusi di kemudian hari,” tegas Henu.
Ketua PN Bulukumba, Ernawaty, menyambut baik jalannya pemeriksaan dan menekankan pentingnya transparansi dalam setiap perkara tanah.
“Yang dicari adalah kepastian objek. Tanpa itu, putusan hanya akan menjadi sumber masalah baru,” ujarnya.
Pemeriksaan lapangan berlangsung tertib, disaksikan para pihak, warga, dan tokoh adat yang menaruh perhatian besar terhadap status tanah Kajang yang sarat nilai tradisi dan kesucian.
Bagi Hamri NurSaldi, langkah pengadilan adalah sinyal baik, namun belum cukup. Ia mendesak pemerintah daerah, kepolisian, dan ATR/BPN segera bergerak.
“Jika negara lambat, ini bukan hanya sengketa tanah — ini bom waktu konflik sosial. Jangan tunggu adat bergerak sendiri.”
Tanah bagi Ammatoa: Napas, Bukan Aset
Dalam falsafah Kajang disebut:
“Lino patuntung… tanah tempat berpijak, langi’ tempat bersandar.”
Tanah tidak dipahami sebagai objek komersial, melainkan ruang hidup yang diwariskan, dihormati, dan dijaga.
Ujian Serius untuk Negara
Di tengah derasnya arus investasi dan modernisasi, tanah ulayat Kajang menjadi pengingat bahwa tidak semua ruang hidup boleh dibarter kepentingan.
Kasus ini bukan sekadar baris di register pengadilan, tetapi ujian moral, budaya, dan konstitusi.
Hamri menutup dengan satu kalimat yang kini menjadi resonansi masyarakat adat:
“Adat tidak boleh kalah oleh ambisi. Negara wajib hadir dan menjaga tanah leluhur — tanpa kompromi.”
Bersambung...








.jpg)
