Batam — Dari kejauhan, deru ekskavator terdengar memecah kesunyian kawasan Taiwan, Kelurahan Kabil, Kecamatan Nongsa. Debu berterbangan, bukit terkikis, dan truk-truk besar keluar-masuk tanpa henti. Aktivitas cut and fill yang diduga dijalankan PT SUG itu terus berjalan, seolah tak tersentuh aturan. Sabtu (22/11) siang, pemandangan itu masih jelas terlihat.
Sudah berbulan-bulan alat berat bekerja di kawasan tersebut. Ekskavator menggali bagian bukit yang sebelumnya rimbun, sementara dump truck roda 10 mengangkut tanah menuju lokasi penimbunan di Bengkong dan Tanjung Uma. Operasi berlangsung hingga larut malam, bahkan hingga menjelang pagi, dalam dua shift penuh.
Namun di tengah aktivitas besar itu, satu hal yang hilang: legalitas yang semestinya ada. Tidak ada papan proyek. Tidak ada dokumen lingkungan yang terpampang. Tidak ada UKL-UPL, Amdal, maupun Surat Izin Kerja Kerukan (SIKK) yang biasanya menjadi syarat wajib.
Di lapangan, dump truck beroperasi tanpa penutup terpal, menyisakan tumpahan tanah dan lumpur di sepanjang jalan raya. Debu beterbangan dan menempel di rumah warga, kendaraan, hingga mengancam kesehatan pengendara.
Pengawas Mengaku Tak Tahu Izin
Saat ditemui di lokasi, seorang pria bernama Boyang mengaku baru beberapa hari bekerja dan ditunjuk sebagai pengawas lapangan. Ia menyebut aktivitas tersebut memang dikerjakan oleh PT SUG, namun soal izin ia mengaku tidak memegang informasi apa pun.
"Saya baru beberapa hari kerja. Kami dari PT SUG. Untuk soal izin, silakan tanya ke PT atau ke Dani. Tanah ini diantar ke Bengkong dan Tanjung Uma. Operasi dari siang sampai pagi,"
Keterangan itu semakin memperkuat dugaan bahwa aktivitas kerukan ini berjalan tanpa transparansi.
Sementara seorang pekerja yang disebutnya bernama Dani menjawab singkat saat dimintai konfirmasi melalui seluler.
“Izin kita lengkap, silakan cek ke BP Batam,” balasnya.
Hingga kini, belum ada satu dokumen pun yang ditunjukkan kepada media.
Jika Tanpa Izin, Ini Masalah Serius
Jika benar aktivitas cut and fill itu tidak mengantongi izin, maka tindakan tersebut masuk dalam pelanggaran UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kegiatan cut and fill wajib melalui kajian dampak lingkungan, memenuhi Amdal atau UKL-UPL, serta mengantongi SIKK.
Kecurigaan semakin tajam ketika material tanah terbukti dipindahkan ke lokasi lain. Dalam regulasi pertambangan, tanah hasil kerukan yang dijual atau digunakan untuk proyek lain dikategorikan sebagai batuan galian C. Artinya, PT SUG wajib memiliki:
IUP Batuan dari Dinas ESDM Kepri, Izin angkut dan izin penjualan material,
Manifest resminya setiap kali material keluar dari lokasi.
Tanpa itu semua, aktivitas tersebut dapat masuk kategori penambangan ilegal, melanggar Pasal 158 UU Minerba, dengan ancaman pidana 5 tahun penjara dan denda Rp100 miliar.
Dampak Nyata: Debu, Lumpur, dan Bukit yang Hilang
Warga sekitar mengeluhkan jalanan yang kian licin akibat lumpur yang jatuh dari badan truk. Debu tebal yang mengepul setiap truk lewat bahkan disinyalir dapat memicu gangguan pernapasan, terutama pada anak-anak.
Bukit yang terkikis menyisakan tebing curam, rawan longsor saat musim hujan. Daerah yang sebelumnya hijau berubah menjadi kawasan gersang penuh tumpukan tanah.
Aktivitas ini bukan hanya persoalan administrasi yang belum lengkap—ini soal keselamatan warga, keberlanjutan lingkungan, dan potensi kerusakan ekosistem jangka panjang.
Konfirmasi Terus Diupayakan
Hingga berita ini diterbitkan, tim media masih berupaya meminta penjelasan resmi dari PT SUG. Konfirmasi kepada BP Batam, Dinas ESDM Provinsi Kepri, dan aparat penegak hukum terus dilakukan untuk memastikan apakah perusahaan tersebut benar mengantongi izin seperti yang diklaim.
Kegiatan cut and fill akan terus dipantau untuk memastikan tidak ada pelanggaran yang merugikan lingkungan maupun masyarakat.
(Tim)






.jpg)
