Konflik Proyek Dayone: Pemangkasan Sepihak, Tekanan Psikologis, dan Diamnya Otoritas KEK Nongsa


Sambar.id, Batam — Ambisi besar menjadikan Nongsa Digital Park sebagai pusat ekonomi digital Indonesia kini tercoreng oleh konflik yang mencuat dari Proyek Dayone. Perselisihan antara PT China Construction Yangtze River Indonesia (CCYRI) dengan kontraktor lokal berubah dari persoalan pembayaran menjadi rangkaian dugaan praktik penekanan, pemangkasan sepihak nilai kerja, hingga pengabaian hak yang menurut pihak kontraktor merupakan tindakan paling brutal yang pernah mereka alami. Dokumen kontrak, revisi nilai kerja, rekaman percakapan, dua somasi resmi, foto lapangan, hingga rekap teknis mengarah pada pola tindakan yang tak lagi dapat disebut sengketa biasa, melainkan potret relasi timpang yang menekan dan melemahkan posisi kontraktor lokal dalam proyek strategis yang berada di bawah pengawasan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Nongsa dan BP Batam.

Konflik bermula pada Februari hingga Maret 2024 ketika kerja sama berjalan mulus. Kontraktor lokal ditunjuk mengerjakan pekerjaan besar seperti pemecahan badan jalan, pemindahan tiang panjang, test pile, serta penyediaan alat berat dengan nilai pekerjaan mencapai Rp5,65 miliar. Salah satu komponen utamanya adalah standby alat berat senilai Rp1,2 miliar yang sudah ditandatangani secara resmi. Selama dua bulan pertama, tidak ada gesekan berarti. Pekerjaan progresif, laporan harian diterbitkan, dan semua pihak berkomunikasi tanpa hambatan. Namun memasuki April 2024, retakan pertama muncul ketika sejumlah pekerjaan tambahan diminta CCYRI tanpa revisi nilai kontrak, sementara retensi Rp250 juta yang sebelumnya disepakati tiba-tiba tidak lagi jelas statusnya. Pekerjaan test pile dan retensi yang nilainya mencapai Rp1,5 miliar juga tidak masuk ke daftar pembayaran. Meski demikian, kontraktor tetap melanjutkan pekerjaan dengan keyakinan bahwa persoalan administratif akan diselesaikan kemudian.

Optimisme tersebut runtuh pada Mei 2024 ketika CCYRI tiba-tiba memangkas nilai proyek hampir 60 persen. Kontrak sebesar Rp5,65 miliar diubah menjadi Rp2,4 miliar tanpa dasar teknis, tanpa pembahasan, tanpa berita acara, dan tanpa ruang dialog. Nilai pekerjaan besar seperti pemecahan jalan, pemindahan tiang panjang, hingga standby alat berat dinilai ulang secara sepihak. Dokumen nilai kerja yang sebelumnya disetujui dan ditandatangani CCYRI justru disebut perlu “direvisi”. Kontraktor menyebut tindakan itu sebagai bentuk perampasan nilai kerja yang sudah mereka selesaikan sepenuhnya. “Semua sudah kami kerjakan. Mereka potong seenaknya. Angka yang mereka tandatangani sendiri pun mereka cabut kembali,” ujar pihak kontraktor.

Memasuki Juni 2024, persoalan berkembang menjadi dugaan penekanan psikologis ketika kontraktor diminta menandatangani addendum baru dengan nilai yang jauh lebih rendah dari kontrak awal. Menurut kontraktor, muncul pesan implisit bahwa jika addendum tidak ditandatangani maka pembayaran tidak akan diproses. “Kami ditekan, dipaksa, dan setiap hak dipotong tanpa alasan. Dua kali somasi, dua kali diabaikan. Mereka bertindak seolah kebal hukum,” katanya. Komponen inti seperti standby alat berat juga tiba-tiba dianggap tidak valid, padahal dokumennya lengkap.

Pada Juli dan Agustus 2024, dua somasi resmi dilayangkan untuk meminta pembayaran nilai kerja sesuai kontrak awal, kejelasan retensi, serta penyelesaian test pile. Namun kedua somasi itu tidak dijawab. Setiap kali kontraktor menagih, CCYRI disebut memainkan pola yang sama, mengalihkan pembahasan, melempar tuduhan tanpa bukti, mengulur waktu, dan mengaburkan diskusi terkait nilai kerja yang sudah mereka tandatangani sendiri. Situasi kemudian memanas pada September 2024 ketika muncul tuduhan balik bahwa kontraktor melakukan kesalahan teknis tuduhan yang tidak pernah muncul dalam rapat, tidak tercatat dalam berita acara, serta tidak dilengkapi bukti maupun kronologi. Kontraktor menilai tindakan itu sebagai bentuk intimidasi balik untuk menekan posisi mereka. “Tekan dulu, salahkan belakangan. Itu pola klasik. Kami hanya menagih apa yang sudah kami kerjakan,” ujarnya.

Pada Oktober hingga Desember 2024, langkah hukum diambil. Kontraktor mengajukan laporan resmi ke BP Batam dan pengelola KEK Nongsa. Seluruh berkas diserahkan mulai dari dokumen perjanjian, revisi nilai kerja, bukti percakapan, foto lapangan, hingga rekap progres pekerjaan. Namun hingga 9 Desember 2025, lebih dari satu tahun setelah laporan masuk, tidak ada panggilan klarifikasi, tidak ada verifikasi lapangan, tidak ada permintaan dokumen tambahan, dan tidak ada pernyataan resmi yang menjelaskan apakah laporan itu diproses atau diabaikan. Keheningan otoritas inilah yang kini menjadi sorotan paling besar. Publik mempertanyakan apakah ada pembiaran, keberpihakan, atau sesuatu yang sengaja tidak ingin dibuka ke publik.

Sementara itu, pola yang disebut kontraktor terus berulang, pengalihan isu ketika ditagih, tuduhan tanpa dasar, penguluran waktu tanpa batas, pengingkaran kesepakatan resmi termasuk standby alat berat, hingga tekanan untuk menandatangani addendum yang merugikan mereka. Situasi ini memunculkan pertanyaan besar tentang bagaimana investor asing bisa memiliki ruang gerak begitu luas tanpa pengawasan ketat di wilayah yang berstatus KEK, yang seharusnya tunduk pada regulasi ketat negara. Di sisi lain, kontraktor lokal justru merasakan posisi yang semakin terjepit dan tidak terlindungi.

Hingga laporan ini diterbitkan, PT CCYRI belum memberikan tanggapan. BP Batam dan pengelola KEK Nongsa tetap bungkam, mempertebal dugaan publik bahwa ada persoalan yang tidak ingin dibuka. Desakan pun mengerucut pada tiga tuntutan, keadilan penuh bagi kontraktor lokal, audit menyeluruh terhadap dugaan penyimpangan dalam Proyek Dayone, serta transparansi BP Batam mengenai siapa yang sebenarnya mereka lindungi. Sebab bila pola seperti ini terus dibiarkan, maka pesan yang terbaca sangat jelas, kontraktor lokal bisa ditekan, sementara investor asing seolah tak tersentuh. Dan itu menjadi tamparan terbesar bagi iklim usaha nasional.(Gh)

Lebih baru Lebih lama