Sambar.id, Batam — Di tengah aktivitas pelabuhan yang sibuk dan ritme industri yang tak pernah tidur, ada persoalan besar yang menggantung di balik tumpukan kontainer. Ratusan kontainer berisi limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) terparkir begitu saja, berbulan-bulan tanpa sentuhan penegakan hukum. Tak ada garis polisi. Tak ada gelar perkara. Tak ada kepastian.
Yang muncul justru satu pertanyaan yang terus menggelinding, mengapa negara diam?
Limbah-limbah itu bukan sekadar tumpukan besi berlabel merah. Di balik pintunya, ada ancaman terhadap kesehatan warga Batam, udara yang bisa tercemar, tanah yang terkontaminasi, hingga potensi paparan zat berbahaya yang berdampak lintas generasi. Namun hingga kini, Kementerian Lingkungan Hidup dan instansi lain yang berwenang masih belum mengambil langkah konkret.
Diam seolah tidak ada yang perlu diselamatkan.
Situasi ini akhirnya memantik respon keras dari berbagai pihak, termasuk DPW Ikatan Penulis dan Jurnalis Indonesia (IPJI) Kepulauan Riau. Ketua IPJI Kepri, Ismail, menjadi salah satu suara paling vokal yang menyoroti persoalan ini. Baginya, kelambanan negara dalam menangani limbah B3 ilegal adalah tanda bahaya serius.
“Hendaknya Presiden Prabowo Subianto dapat mengevaluasi kinerja instansi terkait, terutama Kementerian Lingkungan Hidup,” ujar Ismail, Senin (8/12/2025).
Ismail mengatakan bahwa dasar hukum yang dapat digunakan sebenarnya sudah lebih dari cukup. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) secara jelas mengatur ancaman pidana bagi pengelolaan limbah B3 ilegal. Aturan turunan lainnya juga tersedia: UU Nomor 18/2008, PP 27/2020, PP 22/2021, hingga Permen LHK 9/2024.
Namun, semua regulasi itu seperti berhenti pada teks.
Tidak berubah menjadi tindakan.
“Instansi terkait tidak melakukannya. Ada apa ini?” sentil Ismail.
Ia menegaskan, Batam tidak boleh berubah menjadi tempat pembuangan sampah berbahaya. Kota industri dengan ratusan ribu penduduk ini hidup dari udara yang bersih, sumber air yang aman, dan ruang kota yang seharusnya terlindungi dari limbah beracun.
“Batam ini bukan tempat pembuangan sampah, apalagi limbah B3. Jika Kementerian Lingkungan Hidup tidak mampu melaksanakan tugas, sebaiknya mundur saja,” ucapnya. Pernyataannya menukik, menyinggung soal ketidaksinkronan kerja kementerian dengan program ASTA CITA Presiden Prabowo Subianto.
Ismail juga menyoroti fakta yang seharusnya membuat aparat penegak hukum langsung bergerak, tiga perusahaan pengimpor limbah B3 ilegal sudah teridentifikasi dengan jelas. Dokumennya ada. Nama perusahaannya terang. Alur masuknya tercatat.
Namun proses hukum tak kunjung dimulai.
“Sudah berbulan-bulan, tapi tak ditindak tegas berdasarkan undang-undang yang berlaku,” katanya.
Kondisi ini membuat desakan publik semakin keras. Ketika lembaga yang diberi amanah tak menjalankan tugas hukumnya, evaluasi menjadi tuntutan yang tak bisa dihindari.
“Tidak berlebihan jika kami meminta Presiden mengevaluasi instansi yang tidak melakukan tindakan hukum,” tutup Ismail.
Indonesia sebenarnya memiliki perangkat hukum yang ketat soal pengelolaan limbah berbahaya. Di atas kertas, sistemnya kuat mungkin salah satu yang paling lengkap di Asia Tenggara. Namun hukum tanpa pelaksanaan hanyalah dokumen. Dan Batam hari ini adalah contoh paling nyata dari risiko kelalaian negara.
Ketika instansi memilih diam, publik justru bersuara paling lantang. Dan kini, bola panas berada di tangan Presiden Prabowo, menunggu lebih lama lagi, atau segera bertindak?(Gh)






.jpg)
