SAMBAR.ID || Sukabumi - Kementrian ATR/BPN terus menyuarakan tentang plasma 20% dari total luas HGU lahan yang harus di keluarkan untuk kepentingan masyarakat dari perpajangan HGU baik swasta ataupun yang di kelola BUMN karna dasar tanahnya sama dan mengacu pada aturan, Undang-undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Dimana, dalam pasal Pasal 58 UU Cipta Kerja disebutkan bahwa “Perusahaan perkebunan yang mendapatkan perizinan berusaha untuk budi daya yang seluruh atau sebagian lahannya berasal dari:
(a) area penggunaan lain yang berada di luar hak guna usaha; dan/atau
(b). areal yang berasal dari pelepasan kawasan hutan, wajib memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar seluas 20 persen dari luas lahan tersebut.
Aturan dasar pokok pokok agraria (UUPA) aturan baru yang lagi di godog sekarang plasma bertambah 30% kementerian ATR/BPN menjelaskan jangka waktu HGU dari sebelumnya 25 tahun perpanjangan 35 tahun total waktu HGU 60 tahun , menjadi 25 tahun dan perpajangan ke dua , 35 tahun dan perpajangan ke tiga , 35 tahun menjadi 95 tahun jangka waktu HGU.
Tentu plasma juga ikut bertambah dari sebelumnya 20% pada perpajangan ke dua bertambah 10% pada perpanjangan ke tiga jadi total plasma yang harus di keluarkan adalah 30% dari total luas lahan HGU, swasta ataupun PTPN (BUMN).
Salah satu Direksi atau perwakilan dari PT. Panyindangan, Imam saat dikonfirmasi melalui pesan whatsApp oleh Ketua KPK Jabar Setda Kabupaten Sukabumi, ia sama sekali tidak memberikan tanggapan alias tidak menjawab pesan whatsApp tersebut.
Selain belum diselesaikannya kewajiban atas plasma 20%, aktivitas usaha yang saat ini dilakukan PT. Panyindangan yaitu mengalihfungsikan lahan yang tadinya perkebunan karet menjadi perkebunan pisang pun dapat memicu terjadinya kerusakan alam dan ekosistem lainnya.
Ketua KPK Jabar Setda Kabupaten Sukabumi, E. Suhendi, memaparkan bagaimana dampak kerusakan yang dapat timbul akibat adanya alih fungsi lahan dari perkebunan karet menjadi perkebunan pisang.
Alih fungsi lahan dari kebun karet menjadi kebun pisang berpotensi merusak ekosistem alam, terutama jika dilakukan dengan metode monokultur intensif dan tanpa manajemen lingkungan yang tepat.
Berikut penjelasannya :
A. Dampak Potensial Kerusakan Ekosistem
1. Berkurangnya Keanekaragaman Hayati :
Perkebunan karet yang sudah tua mungkin masih mendukung tingkat keanekaragaman hayati tertentu. Menggantinya dengan monokultur pisang dapat menyebabkan hilangnya habitat bagi berbagai spesies tumbuhan dan hewan, sehingga mengurangi keanekaragaman hayati lokal secara drastis.
2. Degradasi Tanah :
Pohon pisang memiliki sistem perakaran yang berbeda dari pohon karet, dan budidaya pisang yang intensif sering kali melibatkan pengolahan tanah yang lebih sering. Hal ini dapat menyebabkan penurunan bahan organik tanah dan meningkatkan risiko erosi tanah.
3. Peningkatan Penggunaan Bahan Kimia :
Pisang rentan terhadap berbagai hama dan penyakit jamur, yang sering kali memerlukan penggunaan pestisida dan fungisida dalam jumlah besar. Penggunaan bahan kimia yang berlebihan dapat mencemari tanah dan sumber air di sekitarnya.
4. Perubahan Siklus Air :
Pohon karet berfungsi sebagai penyerap karbon dan membantu dalam siklus air regional. Penggantian vegetasi pohon jangka panjang dengan tanaman pisang yang lebih pendek dan memiliki siklus hidup lebih cepat dapat mengubah pola resapan air dan aliran permukaan, berpotensi meningkatkan risiko banjir lokal.
B. Faktor Penentu Dampak
Dampak negatif dapat diminimalkan atau diperparah tergantung pada cara konversi dilakukan :
1. Skala Konversi : Konversi area kecil mungkin berdampak minimal, sedangkan konversi skala besar akan memiliki dampak ekologis yang signifikan.
2. Metode Budidaya : Jika pisang ditanam sebagai bagian dari sistem agroforestri (tanaman sela di antara tanaman lain) atau dengan praktik pertanian berkelanjutan (penggunaan pupuk organik, pengendalian hama terpadu), dampaknya akan jauh lebih rendah dibandingkan dengan monokultur murni.
3. Manajemen Lingkungan : Perencanaan penggunaan lahan yang matang dan praktik konservasi tanah dan air dapat menekan dampak negatif.
Secara ringkas, sementara konversi lahan perkebunan selalu memiliki konsekuensi ekologis, alih fungsi dari karet ke pisang yang dikelola secara tidak bijak (monokultur intensif) cenderung merusak ekosistem alam. Perlu pertimbangan matang untuk menjaga keseimbangan dan kelestarian sumber daya alam.
Kontributor : Hans







.jpg)
