Pemekaran Pulau Sumbawa: Solusi Semu di Tengah Ketimpangan

 Oleh : Arifudin (Mahasiswa S3 Manajemen Unitomo Surabaya)

Rencana pemekaran Pulau Sumbawa kembali mengemuka di tengah dinamika pembangunan daerah yang masih menghadapi banyak tantangan. Wacana ini, meski telah berulang kali muncul, seolah menemukan momentumnya dalam narasi tentang pemerataan, percepatan pembangunan, serta representasi politik yang lebih adil bagi masyarakat di wilayah timur Nusa Tenggara Barat (NTB). Namun, jika ditelaah lebih dalam, apakah pemekaran Pulau Sumbawa benar-benar merupakan solusi yang tepat untuk menjawab problematika struktural dan kultural yang selama ini terjadi? Ataukah justru hanya menjadi solusi semu yang berisiko melahirkan lebih banyak persoalan baru?

Pemekaran: Antara Idealisme dan Kepentingan

Secara normatif, pemekaran wilayah memang dimungkinkan dalam kerangka otonomi daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Tujuannya jelas: mendekatkan pelayanan publik, meningkatkan efisiensi pemerintahan, serta mempercepat pembangunan. Namun dalam praktiknya, pemekaran seringkali tidak dilandasi oleh kebutuhan riil masyarakat, melainkan lebih karena dorongan politis dan kepentingan kelompok tertentu.Pulau Sumbawa yang terdiri atas beberapa kabupaten antara lain Sumbawa, Sumbawa Barat, Dompu, Bima, dan Kota Bima selama ini memang menghadapi tantangan geografis dan keterbatasan infrastruktur. Namun tantangan tersebut tidak serta-merta hanya dapat diselesaikan dengan cara memekarkan wilayah. Justru yang dibutuhkan adalah penguatan koordinasi lintas daerah dan peningkatan kapasitas kelembagaan yang ada.Fakta di berbagai daerah menunjukkan bahwa sebagian besar daerah otonomi baru (DOB) hasil pemekaran pasca reformasi belum menunjukkan kinerja yang signifikan. Berdasarkan laporan Badan Pemeriksa Keuangan dan evaluasi Kemendagri, banyak DOB yang belum mampu mandiri secara fiskal dan justru menjadi beban anggaran pusat. Hal ini menunjukkan bahwa pemekaran bukanlah solusi instan yang secara otomatis akan membawa kemajuan.

Ketimpangan Bukan Alasan untuk Memekarkan

Salah satu argumen yang sering digunakan untuk mendukung pemekaran Pulau Sumbawa adalah adanya ketimpangan pembangunan antara Pulau Lombok dan Sumbawa. Harus diakui, sebagian besar investasi, infrastruktur, dan perhatian pemerintah memang lebih banyak terkonsentrasi di Lombok. Namun apakah solusi atas ketimpangan itu harus dengan memisahkan administrasi pemerintahan?Ketimpangan bukan terjadi karena Sumbawa bergabung dengan NTB, melainkan karena kegagalan pemerintah daerah dan pusat dalam mendesain kebijakan pembangunan yang inklusif. Seringkali daerah tertinggal bukan karena kurang dana, melainkan karena salah kelola dan lemahnya akuntabilitas. Jika pemerintah provinsi NTB belum mampu berlaku adil dalam distribusi anggaran dan program, maka yang perlu diperbaiki adalah mekanisme pengawasan, perencanaan pembangunan, dan partisipasi masyarakat. Bukan dengan memekarkan daerah, yang justru membuka peluang baru untuk konflik sumber daya, dualisme wewenang, dan pemborosan anggaran.

Biaya Sosial dan Ekonomi Pemekaran

Pemekaran wilayah bukan tanpa biaya. Di balik harapan akan pembangunan yang lebih merata, terdapat beban fiskal dan sosial yang cukup besar. Pembentukan provinsi baru atau kabupaten baru berarti harus dibangun infrastruktur pemerintahan dari nol: kantor gubernur, DPRD, OPD, pengadilan, rumah sakit rujukan, hingga aparat birokrasi. Semua ini membutuhkan anggaran yang sangat besar di tengah kondisi fiskal nasional yang makin ketat.Belum lagi bicara soal risiko fragmentasi sosial. Sumbawa adalah wilayah dengan keragaman etnis dan budaya yang tinggi Bima, Dompu, dan Sumbawa masing-masing memiliki karakteristik sosiokultural yang berbeda. Jika tidak dikawal dengan pendekatan kultural yang inklusif, pemekaran bisa membuka ruang bagi gesekan antardaerah, terutama jika terjadi tarik-menarik lokasi ibu kota, pembagian sumber daya alam, dan pengaruh elit politik lokal.

Representasi Politik Bisa Diperkuat Tanpa Pemekaran

Isu lain yang sering muncul adalah lemahnya representasi masyarakat Sumbawa dalam pemerintahan provinsi. Namun hal ini lebih merupakan persoalan sistem politik dan partisipasi, bukan struktur administratif. Representasi bisa diperkuat melalui rekrutmen politik yang inklusif, penguatan peran DPRD dapil Sumbawa, dan penunjukan pejabat strategis dari wilayah timur NTB. Tak perlu membelah provinsi untuk mendapatkan pengakuan.Jika representasi hanya dikejar lewat pembentukan provinsi baru, maka akan muncul preseden bahwa setiap wilayah yang merasa "kurang diperhatikan" berhak untuk memisahkan diri. Ini berbahaya bagi semangat kesatuan dan integrasi nasional. Pemerintah pusat pun harus berhati-hati dalam merespons aspirasi semacam ini, agar tidak membuka keran pemekaran yang tidak terkendali.

Solusi Alternatif: Otonomi Asimetris dan Kawasan Khusus

Alih-alih mendorong pemekaran, Pulau Sumbawa bisa diperkuat melalui pendekatan otonomi asimetris atau penetapan kawasan strategis nasional/khusus. Pemerintah pusat bisa memberikan perlakuan khusus terhadap kawasan tertentu di Sumbawa untuk mempercepat pembangunan, misalnya lewat program special economic zone (SEZ), Dana Alokasi Khusus, atau program strategis nasional.Pemerintah provinsi NTB juga bisa membuat desain pembangunan regional berbasis klaster yang lebih adil, dengan memastikan wilayah timur mendapat alokasi anggaran dan proyek infrastruktur yang proporsional. Kolaborasi antarkabupaten juga perlu ditingkatkan, misalnya dalam pengelolaan pariwisata, pendidikan tinggi, dan pelayanan kesehatan regional.

Berpikir Jernih di Tengah Aspirasi

Aspirasi masyarakat Sumbawa tentu patut didengar dan dihormati. Namun mendengar bukan berarti harus mengikuti. Negara harus bertindak berdasarkan kepentingan jangka panjang yang rasional, bukan sekadar memenuhi tuntutan jangka pendek yang belum tentu membawa manfaat nyata.Pemekaran Pulau Sumbawa adalah wacana besar yang menyentuh aspek ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Karena itu, ia tidak boleh diputuskan dengan tergesa-gesa atau atas dasar tekanan elit semata. Kita butuh kajian mendalam, partisipasi publik yang luas, serta komitmen bersama untuk membangun NTB secara utuh dan berkeadilan tanpa harus membelahnya menjadi dua.Membelah bukan selalu berarti membangun. Terkadang, justru dengan tetap bersatu, kita bisa lebih kuat, lebih bijak, dan lebih adil.
Lebih baru Lebih lama