Fatamorgana di Butta Panrita Kitta? Sinjai Menolak Diam!

Sambar.id, Sinjai, Sulsel - Indonesia, negeri Bhinneka Tunggal Ika, menunjukkan paradoks memilukan: negara hukum di atas kertas, tetapi keadilan menjadi barang langka. 

Keadilan, fondasi negara, hanyalah fatamorgana, mimpi kosong yang tak terjangkau rakyat. 

Dzoel SB, jurnalis Sinjai, Lahir dari keluarga petani, ia menyaksikan ketidakadilan merajalela, dari desa hingga Ibu Kota. 

Gedung pengadilan, bukan simbol keadilan, melainkan monumen kemunafikan. Keadilan menjadi hak istimewa segelintir elit, bukan hak dasar rakyat Indonesia.
 
Bagi Dzoel, keadilan bukan slogan, melainkan medan pertempuran melawan tirani. Ia menyaksikan sendiri bagaimana keadilan menjadi komoditas mewah, jauh dari jangkauan masyarakat kecil. 

Kepedihannya mengasah tulisannya yang tajam, membongkar kedok ketidakadilan dan menjadi corong jeritan rakyat yang terabaikan. 

Tulisannya bukan sekadar berita, melainkan amunisi perlawanan, pengingat pentingnya keadilan sebagai komitmen, bukan retorika. 

Ia berpegang teguh pada prinsip Bugis-Makassar, "Ejapi na Doang, kualleangi tallanga na toalia"—tindakan nyata, bukan janji-janji kosong.
 
Pernyataan kontroversial anggota DPRD Sulsel, Mizar Roem—"Polemik tambang Sinjai tak perlu dihebohkan"—memicu amarah di Sinjai. 

Pernyataan meremehkan itu memicu perlawanan warga terhadap rencana eksplorasi tambang emas PT. Trinusa Resources yang mengancam 11.362 hektar lahan. 

Ancaman kerusakan lingkungan yang ditimbulkan sangat nyata: pencemaran air tanah dan sungai, kerusakan ekosistem hutan, dan hilangnya keanekaragaman hayati. 

Lebih jauh lagi, ketika proyek tambang terealisasi, ini mengancam mata pencaharian utama warga Sinjai, yang sebagian besar bergantung pada pertanian dan perkebunan. 

Ribuan warga Sinjai, diperkirakan mencapai ratusan ribu, akan kehilangan sumber penghidupan mereka jika proyek tambang ini berjalan. 

Kehilangan lahan produktif akan berdampak langsung pada perekonomian dan kesejahteraan masyarakat.
 
Dampak sosial dan ekonomi dari proyek tambang ini akan meluas jauh melampaui kehilangan mata pencaharian.  

Kerusakan lingkungan akan berdampak pada sektor pariwisata, yang selama ini menjadi sumber pendapatan penting bagi masyarakat Sinjai.  

Kehilangan akses terhadap sumber daya alam yang berkelanjutan akan mengakibatkan kemiskinan dan ketidaksetaraan ekonomi yang semakin besar.  

Potensi konflik sosial juga meningkat, mengingat ketidakpastian masa depan yang dihadapi oleh masyarakat.  

Janji-janji palsu tentang lapangan kerja dan peningkatan pendapatan daerah hanya akan memperburuk situasi, menciptakan kekecewaan dan ketidakpercayaan terhadap pemerintah.
 
"Ini bukan polemik, ini ancaman kematian!" teriak warga Sinjai. 

Ia menuntut penghentian rencana proyek dan pencabutan izin, berbekal UU No. 31/1999, UU No. 20/2001, dan UU No. 32/2009. 

Janji "lapangan kerja" dan "peningkatan pendapatan daerah" hanyalah tipu daya di tengah ancaman kerusakan lingkungan yang nyata dan tak terpulihkan. 

"Itu semua dusta!, Kami tak akan menjadi korban eksploitasi di tanah kelahiran kami!" gema protes Dzoel. 

Perlawanan di Sinjai bukan sekadar konflik lokal, melainkan simbol perlawanan rakyat Indonesia terhadap ketidakadilan, korupsi, dan perusakan lingkungan. 

Ketidaktegasan DPRD Sulsel telah membuka mata seluruh Indonesia. Transparansi dan akuntabilitas bukan lagi pilihan, melainkan tuntutan mutlak. 

Ironisnya, seruan Jaksa Agung ST Burhanuddin untuk penegakan hukum yang berlandaskan hati nurani dan rasa keadilan masyarakat justru berbenturan dengan realita di Sinjai. 

Burhanuddin menekankan pentingnya hati nurani sebagai penyeimbang antara keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum,  mengingatkan bahwa keadilan bukan hanya teks undang-undang, melainkan terletak dalam hati nurani.  

Hal itu telah dipertegaskan ST Burhanuddin, masalah keadilan tidak akan ditemukan dalam buku catatan. 

“Ingat! rasa keadilan tidak ada dalam buku, tidak pula ada dalam teks undang-undang, melainkan ada di dalam setiap Hati Nurani,” tegasnya.

Karena itu, jangan sekali-kali menggadaikan hati nurani adalah anugerah termurni yang dimiliki manusia dan itu adalah cerminan dari sifat Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang.

Namun, di Sinjai, hati nurani seakan-akan diabaikan. Di mana keadilan yang dijanjikan? "Butta Panrita Kitta harus dipertahankan, warisan leluhur kita harus dijaga. Jika bukan sekarang, kapan lagi? Jika bukan kita, siapa lagi?" 

Bersambung....

Lebih baru Lebih lama