Menjadi wartawati bukan perkara mudah. di balik semangat menyuarakan kebenaran, ada resiko yang kadang datang bukan dari luar tapi dari dalam lingkungan sendiri yang seharusnya saling menjaga.
Baru-baru ini, sebuah peristiwa menggores hati dunia pers. Seorang wartawati mengalami kekerasan fisik di area parkir polres kota. Bukan oleh pelaku kriminal, tapi oleh istri sesama wartawan. Yang lebih mengejutkan, kekerasan itu disambut bukan dengan dukungan, tapi dengan cibiran dan fitnah.
Wartawati itu dijadikan bahan berita sepihak. Ia dicap sebagai “pelakor”, dianggap “macak korban”, bahkan diolok di ratusan grup percakapan oleh puluhan rekan seprofesi. Mereka yang dulu menyebutnya “teman satu media”, kini menjadikannya bahan tertawaan.
Ia melapor Mencoba mencari keadilan, Tapi tekanan datang dari berbagai arah—termasuk dari orang-orang dekat. Laporan dicabut demi menjaga perdamaian. Namun bukannya usai, gelombang penghinaan justru semakin besar, Berita lama dimunculkan lagi, fitnah diperluas, dan ia kembali jadi sasaran.
Akhirnya, ia melapor lagi. Bukan hanya demi dirinya, tapi demi suara-suara kecil yang sering dibungkam. Demi martabat profesi yang seharusnya berdiri di atas keadilan, bukan penghakiman.
Apa arti profesi wartawan jika kita sendiri tega menjatuhkan rekan satu perjuangan?
Apa arti solidaritas jika kita ikut menyebar luka?
Peristiwa ini bukan hanya soal satu nama atau satu kejadian. Ini tentang budaya diam, budaya penghakiman, dan budaya saling menjatuhkan yang mulai tumbuh di dalam profesi kita sendiri. Jika tidak dihentikan, maka bukan hanya satu orang yang terluka tapi kehormatan jurnalisme itu sendiri.
Yang menyedihkan, bukan hanya fitnah yang menyakiti, tapi diamnya orang-orang yang tahu namun memilih berpaling. Bahkan lebih menyakitkan lagi ketika ada yang ikut menekan, ikut menyebar gosip, ikut menuliskan berita yang melemahkan korban, bukan membela kebenaran.
Wartawan memang dibekali pena untuk membela yang tertindas. Tapi jika sesama pewarta tak saling menjaga, maka siapa lagi yang akan menjaga marwah profesi ini?
Ketika wartawati dipukul, difitnah, dan dibungkam…
siapa yang berdiri di sisinya?
Ketika ratusan suara menghina,
siapa yang berani membela?
Jangan sampai kita terlalu sibuk menyuarakan kepentingan orang lain, tapi lupa melindungi keluarga profesi kita sendiri. Sebab bila kita tak bisa menjaga satu sama lain, untuk siapa sebenarnya suara pers ini bersuara?
---
📝 Disclaimer:
Opini ini disusun sebagai respon redaksi terhadap fenomena sosial yang berkembang di kalangan jurnalis. Tidak ada unsur tudingan personal terhadap pihak mana pun. Segala kesamaan nama, waktu, atau peristiwa adalah kebetulan yang tidak disengaja.