Sambar.id Pekalongan-Dugaan praktik kredit fiktif mencuat dari balik program Ketahanan Pangan Tanaman Porang yang digulirkan melalui PT. BPR BKK Kabupaten Pekalongan. Temuan ini diungkap Lembaga Swadaya Masyarakat Kemilau Cahaya Bangsa Indonesia (LSM KCBI) setelah menerima aduan warga yang namanya tercantum sebagai debitur dengan nilai pinjaman puluhan juta rupiah, padahal tidak pernah merasa mengajukan pinjaman apapun.
“Awalnya ada warga dari Doro yang curhat ke saya. Dia mau ambil motor, tapi ditolak leasing karena hasil BI Checking-nya jelek. Setelah dicek, ternyata ada tanggungan Rp75 juta di BKK Kajen. Padahal dia merasa tidak pernah pinjam,” ujar Ahmad Waziz, Ketua DPC KCBI Kabupaten Pekalongan, dalam keterangan pers kepada Awak Media.
Warga tersebut akhirnya mengingat bahwa pada tahun 2022 dirinya pernah direkrut untuk masuk dalam kelompok tani porang. Ia mengaku dimintai data pribadi sebagai syarat mengikuti program bantuan ketahanan pangan. Bersama rekan-rekannya, ia kemudian dibawa ke kantor BKK di Kajen dan diminta menandatangani dokumen.
“Menurut pengakuan mereka, saat itu mereka diminta tanda tangan untuk pencairan, tapi tidak pernah menerima uangnya. Mereka hanya diberi uang bensin Rp250 ribu per orang. Yang hadir saat itu ada empat orang, jadi hanya dapat Rp1 juta dibagi empat,” lanjut Aziz.
Lebih lanjut, Aziz menjelaskan bahwa kelompok tani ini ternyata dimobilisasi oleh seseorang berinisial “M” yang diduga berperan sebagai koordinator porang se-Kabupaten Pekalongan. Bahkan, menurut informasi dari salah satu ketua kelompok, mereka kembali diundang ke BKK Kajen setahun kemudian dengan dalih untuk memperpanjang proses pencairan, namun tetap tidak menerima dana pinjaman apapun, hanya diberi uang saku seperti sebelumnya.
“Yang bikin heran, bukan hanya warga Doro. Setelah kami telusuri, kami temukan pola serupa juga terjadi di Karanganyar, Paninggaran, Wonopringgo, dan bahkan hingga Wonokerto,” jelas Aziz sambil menunjukkan bukti survei berupa pernyataan tertulis warga bernama Ihsan Ahsa dari Api-Api, Kecamatan Wonokerto, serta lembar buku tabungan wajib dari BKK Kajen yang memperlihatkan transaksi mencurigakan.
Warga lain yang dialami oleh Nurhayati warga Wonokerto hendak mengajukan pinjaman ke program Mekar, namun gagal karena status BI Checking menunjukkan tanggungan pinjaman yang tidak pernah mereka ajukan. Salah satunya adalah berprofesi sebagai ibu rumahtangga.
“Ini seperti pola. Mereka dijadikan objek kredit fiktif atas nama program pemerintah, tapi uangnya tidak sampai ke tangan penerima. Ini bukan cuma satu dua orang. Kalau hanya dua orang dari Doro yang mengisi survei, empat dari Wonokerto, satu dari Karanganyar, dan dua dari Paninggaran saja, kita sudah bisa lihat potensi kerugian yang lebih besar,” tegasnya.
Karena itulah, LSM KCBI akhirnya secara resmi melaporkan dugaan ini ke Kejaksaan Negeri Kajen pada tanggal 4 Juni 2025. Namun hingga akhir Juli, belum ada kejelasan tindak lanjut dari aparat penegak hukum.
“Kami sudah tiga kali menanyakan ke Kejaksaan. Terakhir kami ditemui Mbak Anin Anindita yang menyampaikan bahwa proses masih berjalan karena ada serah terima jabatan di Kejati. Tapi kami ingin kasus ini jangan mandek,” kata Aziz.
Ia menegaskan, pihak-pihak yang diduga menikmati uang atas nama warga harus bertanggung jawab dan mengembalikan dana ke BKK agar nama-nama masyarakat yang tidak bersalah bisa kembali bersih dan tidak terkena dampak negatif pada catatan kredit mereka.
“Harapan kami sederhana, siapa pun yang terlibat dan menerima uang itu, ya harus melunasi. Nama-nama warga ini harus dibersihkan dari BI Checking. Jangan sampai program pemerintah jadi alat pemiskinan sistematis,” pungkasnya.
Kini publik menanti langkah tegas dari Kejaksaan dan pihak berwenang untuk membongkar tabir dugaan kredit fiktif ini yang telah mencoreng citra lembaga keuangan daerah dan menyengsarakan warga kecil.(*)