Ia memperingatkan agar tidak ada perlakuan istimewa terhadap investor yang berpotensi atau terbukti melanggar hukum
“Aturan perizinan itu untuk ditaati, bukan untuk dinegosiasikan. Pemkab harus menegakkan regulasi tanpa pandang bulu,” tegas Musadaq, Minggu (10/8).
Musadaq menilai, longgarnya pengawasan dan ketertutupan informasi membuka ruang bagi investor nakal untuk mengabaikan kewajiban hukum dan lingkungan. Dampaknya bisa fatal—mulai dari kerusakan ekosistem, konflik lahan, hingga kerugian ekonomi masyarakat.
Sorotan utamanya adalah dugaan alih fungsi lahan yang awalnya direncanakan untuk pabrik porang menjadi smelter. Perubahan ini memicu keresahan petani porang yang berharap keberadaan pabrik tersebut dapat meningkatkan nilai tambah dan kesejahteraan mereka.
“Transparansi dan akuntabilitas adalah kunci mencegah praktik kotor dan menjaga kepercayaan publik,” ujarnya, menegaskan bahwa proses perizinan wajib terbuka, sesuai prosedur, dan melibatkan masyarakat.
Terkait hal itu, ditanggapi Dzoel SB besutan Dr. Muhammad Nur, SH, M.Pd., MH & Associates, dan peneliti bencana Muhlis Salfat, dugaan pelanggaran Pemkab Sinjai dapat dirangkum sebagai berikut:
Dugaan Pelanggaran Pemkab Sinjai
Berdasarkan telaah hukum dan analisis potensi bencana, sebagai berikut:
- Pelanggaran UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) "Mengabaikan prinsip bahwa bumi, air, dan kekayaan alam harus digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dugaan keberpihakan pada kepentingan investor yang merugikan petani porang."
- Pelanggaran UU No. 32/2009 (Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup)," Potensi penerbitan izin usaha sebelum izin lingkungan terbit (Pasal 36). Risiko pidana Pasal 109: penjara 3 tahun dan denda Rp 3 miliar"
- Pelanggaran UU No. 26/2007 (Penataan Ruang) "Dugaan perubahan peruntukan lahan (pabrik porang → smelter) tanpa revisi RTRW, bertentangan dengan Pasal 69:
- Pelanggaran UU No. 6/2014 (Desa) : Mengabaikan hak masyarakat atas informasi dan partisipasi pembangunan (Pasal 82). Tidak ada musyawarah dengan petani terdampak.
- Pelanggaran UU No. 14/2008 (Keterbukaan Informasi Publik) "Tidak mengumumkan informasi kebijakan dan perizinan sumber daya alam (Pasal 9)"
- Pelanggaran PP No. 5/2021 dan Permen BKPM No. 4/2021 "Dugaan pengabaian verifikasi risiko dan keterbukaan informasi perizinan"
- Maladministrasi :Ketertutupan proses perizinan dapat diadukan ke Ombudsman RI.
- Pelanggaran Tata Kelola dan Pencegahan Bencana: Mengabaikan prinsip mitigasi bencana yang diamanatkan UU Penanggulangan Bencana dan tata ruang. Membuka potensi bencana ekologis, kesehatan, dan sosial.
Analisis Potensi Bencana – Muhlis Salfat
- Risiko Ekologis — Limbah B3 dan emisi smelter mencemari tanah, air, dan udara, mengancam biota dan rantai pangan lokal.
- Krisis Air Bersih — Konsumsi air besar-besaran untuk smelter berpotensi menguras cadangan air tanah dan mengurangi suplai bagi masyarakat.
- Banjir & Longsor — Hilangnya resapan air akibat konversi lahan memicu banjir saat hujan dan kekeringan saat kemarau.
- Konflik Sosial — Pergeseran lahan tanpa musyawarah memicu potensi bentrokan warga–investor.
- Kesehatan Masyarakat — Paparan debu logam dan gas beracun meningkatkan risiko ISPA, penyakit kulit, hingga kanker.
- Bencana Hukum & Tata Kelola — Izin bermasalah membuka peluang gugatan hukum, sanksi administratif, dan pidana bagi pejabat.
Muhlis Salfat mengingatkan, “Bencana itu bukan cuma gempa atau banjir. Salah kelola ruang dan rakusnya investasi tanpa kendali adalah bencana yang kita buat sendiri.”
Hingga berita ini dirilis, Pemkab Sinjai belum memberikan keterangan resmi terkait dugaan alih fungsi lahan tersebut. Sementara desakan publik, kajian hukum, dan peringatan potensi bencana terus menguat, menuntut pemerintah daerah segera mengambil langkah transparan, tegas, dan berpihak pada kepentingan rakyat.